Quantcast
Channel: sukmadede
Viewing all 46 articles
Browse latest View live

Pacoa Jara, Pacuan Kuda Para Joki Cilik Dompu

$
0
0


 
Berpacu dalam debu


Saat memasuki area pelataran parkir, beberapa ekor kuda tampak ditambatkan ke pohon-pohon besar disekitarnya. Ada yang meringkik dan coba ditenangkan oleh pemiliknya, ada juga yang anteng-anteng saja.
Teriakan pun terdengar dari corong pengeras suara yang memberi semangat ataupun mengomentari para joki dan kuda yang sedang berpacu.  Sementara di arena lintasan tampak sedang terjadi kejar mengejar antara beberapa kuda pacuan.

Matahari yang bersinar terik dan debu berterbangan dihempas oleh derap kaki kuda-kuda tak mengurangi konsentrasi para joki cilik dengan tunggangannya masing-masing. Hari itu bukanlah hari pertandingan resmi, tapi hanya merupakan jadwal latihan para joki dan kudanya, namun tetap saja memacu adrenalin.

Tanpa pelana, memakai penutup penutup kepala yang tidak standard dan dengan pecut ditangan, anak-anak yang berusia dibawah 13 tahun ini tampak mahir memacu kudanya.
Ya, para joki cilik ini bahkan sudah dilatih sejak berusia 3 tahun. 
Contohnya Aldin salah satunya.  Anak yang berusia 6 tahun, dalam beberapa kali putaran selalu menjadi pemenang atau yang terdepan.

Penonton yang berada dibeberapa titik area lapangan di Kabupaten Dompu ini terus menyemangati joki dan kuda jagoannya.  Tak hanya di tribun atau diluar pagar, namun selain pawang, beberapa orang juga tampak berada di dalam lapanagan pacuan. Di sisi liuar lintasan mereka bersorak, berteriak menyemangati para jagoannya.

Pacoa Jara atau Pacuan Kuda biasanya dilakukan pada hari-hari besar seperti hari Kemerdekaan Republik Indonesia hkususnya di daerah Pulau Sumbawa, NTB. Tadisi turun-temurun ini tetap terjaga, hanya ada perubahan dari segi cara berlomba ataupun pelindung untuk para joki.
Kudanya pun bukanlah kuda sembarangan, melainkan kuda istimewa yang memang untuk dijadiakan kuda pacu.  Perawatan seperti memandikan atau makanannya harus tetap terjaga.

Salah satu yang tampak pada Pacoa Jara ini adalah keselarasan terjaganya kekayaan tradisi leluhur dengan melakukan suatu kegiatan olahraga sekaligus juga hiburan bagi masyarakat.




















Menggapai Asa Di Pulau Satonda

$
0
0
Welcome to Satonda Island




Salah satu teman dalam rombongan kami berhenti di sebuah pohon yang ada di pinggir danau.  Kemudian dia terdiam sejenak lalu mengambil kalung yang menggantung dilehernya. 
Kalung bermatakan kayu itu di gantungkannya di pohon tersebut, dia terdiam mematung memandang kalung yang kini tergantung bersama dengan batu-batuan yang entah sudah berapa lama tergantung disana.  Nafasnya ditarik dalam, dengan mata seperti mengenang akan sesuatu peristiwa atau mendoakan sesuatu. Setelah itu ia pun langsung bergabung dengan yang lain.

Berbeda dengan Pulau Moyo yang kami kunjungi sebelum kesini, treking dari bibir pantai menuju Danau Satonda tidak begitu jauh hanya sekitar 5 menit saja.
Ada yang berbeda dan unik etika kami sampai di Danau Satonda, nampak terlihat banyak batu-batuan ataupun benda lainnya yang diikat lalu digantungkan dipohon-pohon dipinggir Danau Satonda.  Menurut petugas penjaga pulau, batu-batu itu merupakan simbol harapan atau do’a seseorang yang datang kesana.  Entah kapan dimulainya atau siapa yang memulainya dia pun tak pasti.

Apa yang dilakukan orang-orang di pinggir Danau Satonda, mengingatkan saya akan gembok harapan atau gembok cinta yang ada di beberapa tempat didunia ini, seperti di Perancis, Korea, Cina, Jerman, Jakarta (Ancol) hingga Bandung.
Ya namanya juga simbol, saya percaya bahwa mereka-mereka yang menggantung batu di pohon-pohon disana tetap berdoa atau berharap pada sang Maha Kuasa tentunya.

Pulau Satonda yang terletak di Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat ini memiliki Danau yang bernama Satonda juga merupakan pulau vulkanik dengan sejarah yang unik.  Danau yang berisi air asin ini dulunya adalah kaldera Gunung Satonda.  Konon kaldera tersebut terisi air asin dikarenakan letusan dahsyat dari Gunung Tambora yang terjadi pada tahun 1815.  Saya mencoba membayangkan sedahsyat apa tsunami yang terjadi saat letusan Gunung Tambora tersebut.

Setelah mengagumi Danau Satonda yang luasnya sekitar 2,5 kilometer persegi itu, kami semua beranjak kembali ke bibir pantai dimana kapal kami berlabuh.
Terdapat dermaga kecil yang sudah tak begitu baik kondisinya, tapi bolehlah untuk sekedar duduk-duduk menikmati kopi sambil menunggu terbenamnya matahari.
Tergoda oleh dua orang teman yang sudah nyebur sedari tadi, seluruh rombongan yang berjumlah delapan orang akhirnya ikut berenang, bercanda tertawa bersama.  Menyenangkan!

Seiring matahari sudah mulai membenamkan dirinya.  Kami semua beranjak ke tepi pantai, kemudian bersiap-siap kembali ke Calabai.
Di iringi langit yang mulai gelap dan angin yang cukup kencang, perahu melaju dengan pasti meninggalkan pulau Satonda.



Merapat di Pulau Satonda


Danau Satonda


Menggantung Harapan


Senja di Pulau Satonda



Pendidikan Karakter Melalui Aktivitas Mendaki Gunung

$
0
0

Saat itu saya dan tim baru saja turun setelah mendaki Gunung Papandayan.  Pendakian kami kali ini dalam rangka membuat video untuk salah satu band indie, yaitu Bandaneira.
Dalam perjalanan di dalam mobil bak yang akan mengantar kami ke Cisurupan, handphone saya berdering.
"Lagi dimana lu, de? "baru aja nih turun dari Gunung Papandayan.  Kenapa, Tif?" lanjut saya.  Teman yang berada diseberang sana adalah Latief yang kebetulan seorang jurnalis di Kompas.com.

"Lu udah dengar kan beberapa hari lalu ada korban yang menyebabkan kematian pendaki di Gn. Gede dan Gn. Semeru?""Oh, iya tuh gw dengar, pas sebelum gua naik".
Pembicaraan pun berlanjut yang intinya, teman saya Latief meminta saya menulis artikel tentang pendakian gunung, berimabas dari keprihatian makin banyaknya orang yang mulai aktifitas mendaki namun minim dalam hal pengetahuan, pendidikan dan tentunya persiapan.

Karena saat itu saya dalam perjalanan, saya meminta Latief untuk menghubungi istri saya saja untuk menuliskan artikel tersebut.
Singkatnya, akhirnya istri saya, Nouf Zahrah Anastasia menuliskan artikel dan dimuat di Kompas.com.

Berikut ini adalah copy dari tulisan di blog nya (www.bundanouf.blogspot.com) :


Bisa jadi, keputusan saya dan suami adalah kontroversial, yaitu mengajak anak kami sejak usia 2.5 tahun naik gunung, bahkan ketika di musim hujan. Sebagian yang tidak mengenal kami secara dekat mencibir dan mengatakan kami egois, sebagian lagi salut dan mendukung. Lepas dari kontroversi setuju dan tidak setuju, biarlah saya memaparkan alasan saya mendaki gunung (plus kenapa saya repot repot mengajak anak saya turut serta).

Mendaki gunung, kerap kali diidentikan dengan kegiatan “heroik” dan kadang dianggap sebagai kegiatan yang penuh bahaya. Bisa jadi, hal ini benar adanya, jika dilakukan tanpa pengetahuan yang cukup dan persiapan yang matang, karena mendaki gunung berarti melibatkan kegiatan fisik berat di alam yang sulit ditebak kondisinya. Namun, di balik kata “heroik” dan penuh bahaya, aktivitas mendaki gunung ternyata memiliki sejumlah manfaat. Dengan pengetahuan yang cukup tentang kegiatan mendaki gunung, perencanaan dan persiapan yang matang, dan eksekusi yang baik, kegiatan mendaki gunung bisa menjadi kegiatan yang sangat menyenangkan sekaligus menjadi sekolah pendidikan karakater bagi seseorang yang menjalaninya.


Aktivitas mendaki gunung, pendidikan karakter nomer wahid

“Now I see the secret of making the best person: it is to grow in the open air and to eat and sleep with the earth." - Walt Whitman

Seperti kebanyakan kegiatan di alam bebas lainnya, menjalani aktivitas mendaki gunung bagaikan sedang menjalani kehidupan sejatinya. Aktivitas mendaki gunung memiliki banyak bahan pengajaran pendidikan karakter yang pastinya dibutuhkan seseorang jika ingin sukses dan bahagia dalam hidupnya. Kata “karakter” di sini maksudnya bagaimana seorang seseorang menampilkan kebiasaan positif dalam menyikapi segala kejadian yang dihadapinya dalam kehidupan. Kebiasaan positif ini tentunya dapat dipelajari  dan perlu dibangun/dilatih. Melalui kegiatan mendaki gunung, karakter positif seseorang dapat di bangun.  

Mendaki gunung, bukan kegiatan impulsif karena mengharuskan seseorang melakukan persiapan yang baik. Seorang yang hendak melakukan aktivitas ini sebenarnya telah belajar banyak hal positif bahkan sejak persiapan awal baru dilakukan. Persiapan termasuk di dalamnya menentukan tujuan, membuat target perjalanan, mencari tahu support system yang ada (misalnya letak rumah sakit terdekat), mempelajari tips dan penanganan darurat ketika menghadapi keadaan darurat, ataupun membuat daftar barang yang dibutuhkan untuk mendaki. Melakukan persiapan perjalanan pendakian melatih seseorang untuk tidak gegabah dan penuh perhitungan. Dua hal yang pastinya dibutuhkan dalam menjalani petualangan kehidupan sehari hari. Dengan melakukan perencanaan, seseorang juga belajar bertanggung jawab atas aktivitas yang akan dilakukannya.

Rasa cinta pada alam, tidak bisa tumbuh hanya dengan melihat brosur perjalanan atau menonton televisi. Soe Hok Gie pernah menuliskan ….“Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan – slogan Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat.  Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat…”.

Dalam perjalanan mendaki gunung, seseorang disuguhkan pada keindahan dan kemegahan alam pegunungan. Dengan hadir secara langsung, semua panca indra terlibat untuk membuktikan alam begitu indah dan kita bertanggung jawab untuk memeliharanya. Seseorang akan dilatih untuk menjadi seseorang yang penuh cinta pada lingkungannya, terasah untuk bertanggung jawab pada dunia, paling tidak pada lingkungan disekitarnya. Tidak membuang sampah sembarangan atau merusak ekosistem yang ada, menjadi pelajaran yang paling sederhana namun penting yang bisa didapat melalui aktivitas naik gunung. 


Ketika melakukan pendakian, seseorang dihadapkan pada banyak tantangan. Medan sudah pasti menanjak, tidak rata, dan pastinya menguras keringat. Jalur pendakian kerap tidak begitu jelas dan banyak kali ditemukan persimpangan. Sering kali jurang terbentang di kiri atau kanan jalan setapak. Rasa dingin yang menggigit dan oksigen yang menipis kompak membuat napas menjadi lebih berat dan tersengal. Seseorang yang mendaki gunung pun diharuskan membawa perlengkapan dalam sebuah tas ransel. Pastinya, butuh perjuangan keras untuk melakukan pendakian dengan beban yang dipikul. Bebarapa orang mungkin melihat semua hal di atas adalah masalah dan menghindarkan mereka dari kegiatan mendaki gunung. Namun, menyikapi semua hal tersebut, seseorang memiliki kesempatan untuk belajar melihat, mengamati, menganalisa, menyiasati, mengantisipasi, mengambil keputusan, atas situasi dan kondisi yang ada. Seseorang dilatih untuk tidak cepat berkeluh kesah dan berjuang untuk mencapai tujuan yang lebih besar. Seseorang belajar disiplin dan mengelola rasa malas dan lelah demi mencapai tujuan yang diinginkan. Seseorang belajar untuk berlaku berani namun berhati hati. Contoh latihan disiplin adalah ketika beristirahat, sangat dianjurkan seseorang untuk mengambil jaket untuk memelihara panas tubuh yang ada. Sebab sering kali, panas tubuh perlahan menghilang berganti dengan rasa dingin yang menggigit. Rasa lelah sering kali membuat seseorang malas untuk bergerak membuka tas untuk mengambil dan kemudian mengenakan jaket. Seseorang belajar untuk disiplin mengelola rasa malas dan bergerak meraih ransel, mengeluarkan jaket, dan mengenakannya. Sebab, dengan mengabaikan disiplin, tujuan tak akan didapat, dan sesuatu yang tidak diharapkan dapat terjadi. Dalam kehidupan keseharian, banyak kejadian tidak mengenakan terjadi hanya karena kita tidak berhasil disiplin dan mengalahkan rasa malas yang ada.

Seseorang sering kali memiliki banyak ketakutan ataupun kekhawatiran dalam dirinya. Aktivitas mendaki gunung memungkinkan seseorang mengalami rasa takut dan cemas akan kondisi yang timbul di lapangan. Pengalaman mendaki memberikan kesempatan pada seseorang untuk mengelola rasa takut dan kekhawatiran yang timbul dengan melakukan tindakan yang diperlukan.

Mendaki gunung biasanya melibatkan individu lain. Dalam melakukan perjalanan mendaki, sering kali kita dihadapkan pada kondisi medan yang sulit sementara tidak semua teman seperjalanan memiliki kemampuan yang merata. Dalam perjalanannya, seseorang mungkin akan kedinginan, terpeleset, jatuh, ataupun merasa lelah. Peserta pendakian masing-masing berkesempatan memberikan bantuan, dukungan, ataupun perhatian satu sama lain.Seseorang dilatih untuk peka akan kondisi yang ada dan karakter suka menolong bisa terasah melalui kondisi seperti ini. 
"Let me help you, my friend"

Ketika mendaki, sesama rekan pendaki bisa berbeda pendapat dalam menentukan jalur yang dilewati atau target yang hendak dicapai. Melalui mendaki gunung, seseorang dilatih untuk mengenal kepribadian dan karakter berbagai individu. Seseorang berlatih untuk mengembangkan kemampuan interpersonal termasuk di dalamnya berlatih menyikapi setiap karakter, kemampuan dan kecakapan yang berbeda yang dimiliki oleh masing masing seseorang. Seseorang belajar untuk menjadi rendah hati dan mau mendengarkan dengan penuh perhatian, mengemukakan pendapat dan bernegosiasi, bijak terhadap kondisi sulit, tegas tapi juga memiliki sikap toleransi sekaligus mementingkan kepentingan kebanyakan orang dan tidak egois. Saya sendiri mempercayai, banyak dari teman-teman mendaki gunung saya, adalah teman teman terbaik.

Pengalaman meditasi

Lebih dalam lagi, selain menjadi kegiatan sosial, aktivitas mendaki gunung bagi saya merupakan kegiatan meditatif. Dikatakan pengalaman meditasi, karena pada saat saya mendaki, seperti seseorang yang sedang bermeditasi, saya belajar untuk fokus pada apa yang sedang saya lakukan pada saat itu saja. Saya hanya berfokus pada mengatur nafas dan memperhatikan langkah. Saya belajar untuk tidak menghawatirkan masa lalu maupun apa yang akan terjadi di kemudian hari. Saya belajar untuk hadir secara sadar pada setiap detik.  Suatu skill yang penting dalam menjalani kehidupan sehari hari. Hadir secara penuh dalam setiap detik untuk fokus melakukan yang terbaik. 
Fokus pada saat ini. Foto oleh Wahyu Wening

Pembentukan karakter tidak lahir sekonyong-konyong, namun membutuhkan latihan yang panjang dan perlu dimulai sedini mungkin. Mempercayai bahwa aktivitas mendaki gunung adalah sarana pendidikan karakter yang alami, oleh karena itulah, saya memutuskan untuk memperkenalkan aktivitas mendaki gunung pada anak saya sedini mungkin. Disamping semua manfaat yang tertulis di atas, saya merasa, melalui kegiatan naik gunung, anak saya yang kini berusia 5,5 tahun tumbuh menjadi anak yang gembira dan percaya diri.

Jadi, yuk, kita naik gunung!


Body Rafting di Green Canyon, Pangandaran

$
0
0


 
dari atas


3 Tiket Kereta Api jurusan Bogor-Sukabumi (pulang-pergi) sudah ditangan.  Rencana awal kami untuk liburan kali ini sebelum puasa adalah camping di Situ Gunung.Tapi, sehari sebelum berangkat ketika membicarakan rencana lebih detail, berubahlah rencana untuk camping setelah menimbang beberapa hal, akhirnya tujuan kita alihkan ke Pangandaran.  Lumayan agak impulsif sih.

Ini  kali ke tiga kami liburan keluarga ke Pangandaran.  Sebagai tujuan wisata, bermain di pantai Pangandaran sudah semacam menu utama.  Kegiatan lainnnya yang sudah kami lakukan adalah berperahu di Green Canyon dan ke Pasir Purtih (snorkeling), mendatangi pantai batu hiu dan juga body rafting di Citumang.Nah, perjalanan kali ini kami rencanakan body rafting di Green Canyon yang katanya lebih menantang dari yang di Citumang.

Setelah sampai di terminal Pangandaran, dikarenakan masih terlalu pagi maka kami langsung mencari hotel untuk sekedar menitipkan barang bawaan yang tak akan kami bawa ke Green Canyon untuk body rafting.Dengan menaiki angkot, sampailah kami dipintu masuk Green Canyonlalu mencari warung untuk sarapan.  Tak menunggu lama, kami langsung didatangi oleh salah satu provider yang menawarkan paket body rafting.

“Paketnya sih 1 juta untuk 5 orang, kalo bapak Cuma bertiga bisa kita kasih 800,000 saja” ujar sang operator.
‘Wah lumayan juga sih kalo 800.000, kalo gitu kita tunggu aja deh ada rombongan lain yang bisa barengan sama kita, biar kita ikut yang 200,000/orang” ujar saya kepada dia.  Setelah saya berdiskusi juga dengan istri.

 Hampir satu jam dan akhirnya pihak operator  mendatangi kami yang sedang duduk-duduk di area pembelian tiket perahu. “pak, ayuk kita ke base camp, udah ada barengan nya nih”.  Kami pun bergegas menyambutnya dan langung menuju mobil bak terbuka yang akan membawa kami menuju base camp Kali-Kali body rafting.  Ya, itulah nama operator tersebut.
Hanya memakan waktu tak lebih dari sepuluh menit, kami melihat ada 4 orang yang sudah bersiap-siap sedang mengganti pakaian ketika kami sampai di base camp.




pose sebelum pengarungan


Setelah semua orang dilengkapi peralatan untuk ber body rafting,  perjalanan menuju titik awal lagi-lagi menggunakan mobil bak terbuka. Oiya, menurut sang guide, operator mereka agak berbeda dengan operator laiinya, karena mereka meminjamkan pelingung dari dengkul hingga batas pergelangan kaki dan juga sepatu/boot selam.  Dan hal itu terbukti ketika kami berjumpa dengan rombongan lain di pengarungan.
Sesaat tiba di titik awal pengarungan semua berkumpul untuk mendapatkan pengarahan dari salah seorang guide.

Tak lupa berdoa, maka selanjutnya7 peserta dan 3 orang guide serta merta menceburkan diri kedalam air sungai yang lumayan dingin dan tampak berwaran ke tosca-an tersebut.  Perjalanan dimulai!


mendengarkan pengarahan


Dari mulai kedalaman air yang dapat membuat kami mengambang dengan santainya, kadang kami harus berdiri menapaki di pinggiran sungai yang berbatu.
Beberapa kali sang guide menunjukkan tempat-tempat untuk melompat dari ketinggian tertentu bagi peserta yang ingin mencoba melompat.

Ada kalanya kami bertemu jeram dan menghanyutkan diri didalamnya yang membuat perjalanan tidak datar-datar saja bahkan menjadi lebih seru!
“ini agak surut sih, biasanya kalo airnya banyak, lebih seru lagi” ujar sang guide.  Kamipun setuju dengannya.
Tapi tetap ada sih yang jeramnya membuat kita berteriak, saat kita masuk kedalamnya tubuh sempat tenggelam dalam hitungan 5 detik.  Lumayan ngagetin karena gak nyangkanya.

Selaiin hanya mengandalkan jaket pelampung, Azzam pun beberapa kali memasuki jeram dengan menggunakan ban yang memang sengaja dibawa oleh sang guide.  Setiap kali memasuki jeram, azzam berteriak kegirangan,. Seru banget katanya!


yeay! 


rombongan kami hari itu


Ketika memasuki kira-kira lebih dari setengah perjalanan, sampailah kami di"Rest Area”.  Setidaknya itu sebutan yang diberikan oleh operator kepada kami.
Di pinggir sungai, ada semacam warung yang siap-siap menghangatkan tubuh dengan suguhan minumam hangat, gorengan dan juga mie instant yang tinggal diseduh.  Sekaligus berjemur di bawah sinar matahari yang menghangatkan tubuh.
Disana, kami berkumpul dengan beberapa rombongan lain yang tentunya juga bermaksud yang sama dengan kami.

Perjalanan pun berlanjut, ketika perut sudah terisi dan tubuh mulai menghangat kembali.  Ada juga peserta yang sepertinya tak rela berhenti berjemur karena harus masuk kembali ke air sungai yang dingin.
Setelah pengarungan yang melewati jeram dan juga beberapa pancuran air yang jatuh dari air di batu-batu bagian atas bagaikan air hujan.
Tak terasa pengarungan dengan ber body rafting yang memakan waktu sekitar 3 jam sudah harus kami akhiri.


Halo!


Di garis akhir, para peserta di jemput oleh kapal yang akan membawa kembali ke base camp yang telah menyiapkan suguhan makanan dan minuman.  Saatnya pula kami berpisah dengan peserta rombongan yang lain.

Hari itu, kami bertiga langsung menuju pantai untuk menikmati senjanya.  Barulah keesokan harinya kami bermain dipantai hingga hari menjelang siang.  Sore harinya, kami berkemas untuk bersiap kembali pulang.

Sampai bertemu lagi Pangandaran!



di akhir perjalanan


body surfing

Senja di Pangandaran


Gunung, Pantai, Tenun Hingga Tembakau Ada Di Pulau Lombok

$
0
0


Gunung Rinjani, sebagai gunung kedua tertinggi di Indonesia ini memang sangat terkenal dengan keindahan pemandangan nya. Bahkan masuk dalam daftar salah satu gunung berapi aktif terindah di dunia.

Gunung yang terletak di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat ini banyak didatangi oleh para pendaki mulai dari  lokal  hingga pendaki mancanegara. Memang, dengan medan dan pemandangan nya yang bervariasi dari mulai sabana, hutan dan danau sangat memanjakan mata para penikmat alam.
Namun kali ini, sayangnya kedatangan saya dan beberapa kawan ke “Pulau 1000 Mesjid” ini bukan untuk mendaki Rinjani.   

Jalanan yang pas untuk 2 mobil membawa kami melintasi bagian Timur Pulau Lombok.
Bercanda, nyanyi hingga ngerjain teman sendiri kami lakukan didalam bus berukurang sedang tersebut untuk mengurangi rasa kantuk.
Setelah perjalanan hampir memakan waktu sekitar 2 jam kalau dihitung dari hotal dimana temoat kita menginap, terlihat disisi kanan jalan ada plang bertuliskan Pantai Kuta. “wah, nyampe juga nih kita”, ujar seorang teman dengan wajah sumringah.  Karena memang Tanjung Aan yang akan kami datangi letaknya tak jauh dari Pantai Kuta, Cuma sekitar 5 km saja. 

Matahari masih memancarkan sinar teriknya ketika kami sampai di Tanjung Aan.  Pantainya yang berpasir putih tampak menyilaukan mata. 
Begitu turun dari bis, tak ada seorangpun yang langsung ke pantai, tapi mencari tempat untuk berteduh sementara.
Beberapa ada yang menuju warung, ada juga yang ke pondokan yang terbuat dari kayu dan beratapkan daun.
Selagi menikmati belaian angin sepoi, tak menunggu lama kamipun langsung di serbu oleh para penjaja kain khas lombok.  Ada sekitar 5 sampai 7 orang pedagang yang mendekati kami. Beberapa teman membeli lagi kain yang dijajakan walaupun sebagian besar dari kami sudah berbelanja tadi ketika singgah di Desa Adat Sade.  Mungkin karena memang warna warni kain tenun lombok ini sangat menarik dipandang mata.

Beberapa hari berada di Lombok kali ini, lumayan menambah pengetahuan saya.  Ternyata disamping efek dari pariwisata dan turunannya sebagai salah satu penghasilan dari para penduduk di Lombok, ternyata Lombok, khususnya Lombok timur dikenal juga sebagai salah satu tembakau terbaik di Indonesia.
Dari pembicaraan kami dengan para petani, ketika kami mampir di Desa Lekor bahwa adanya perubahan-perubahan yang dirasakan masyarakat.

“Dulu sekali, sering terjadi kejahatan di daerah sini, seperti perampokan ternak.  “Tempat saya ini malah pernah disambangi sekitar 20 orang rampok” jelas Pak Haji Sabarudin, salah seorang ketua kelompok tani di Desa Lekor. 
Namun setelah pertanian tembakau mulai menggeliat di akhir tahun 1986-an, daerah disana pun mulai ramai, jalanan lebih baik dan penerangan yang cukup.

“Bahkan ada mantan rampok yang kini setelah sadar lalu menjadi petani tembakau. Selain bertanam tembakau, Haji Sabarudin juga berternak sapi yang berasal dari Bali.
 Upaya yang dilakukan Pak Sabarudin memang tidaklah bisa dikatakan mudah.  Butuh waktu yang lumayan baginya untuk mengajak dan meyakinkan warga nya agar mau bertani tembakau yang kini hasilnya sudah dapat dirasakan oleh warga desa Lekor.
Hampir tak ada usaha yang tak pernah ada gagalnya.  Seperti yang pernah dialami oleh Pak Sabarudin dan warga desa Lekor. 

Di tahun 2010, mereka sempat bangkrut karena tahun itu curah hujan lumayan tinggi yang mengakibatkan gagal nya panen tanaman tembakau.
Tanaman tembakau memang salah satu tanaman yang cocok ditanam di daerah yang relatif kering, tentunya dengan beberapa persyaratan yang menjadi standar. 

Sempat mereka mencoba bertani tanaman lainnya seperti kedelai, namun hasilnya tak seberapa.  “yah, kita cuma bisa dapat balik modal aja”, ujar Pak Sabarudin.  Matanya menerawang, seperti mencoba mengingat peristiwa yang sempat menjatuhkan semangat mereka.
Selain bertanam tembakau, masyarakat Lombok Timur juga menanam padi dan cabai di lahan mereka.
Seiring informasi, bantuan modal, bibit, pelatihan dan pendampingan bagaimana cara bertani yang benar yang didapatkan dari pihak mitra, hari demi hari semakin baik pula hasil tani yang mereka tuai.

Pak Sabarudin melanjutkan ceritanya, “jadi disini, untuk melihat petani yang sudah berhasil sangat mudah sekali. Yang pertama naik haji, punya rumah dan yang ketiga...kawin lagi. Hahahaha..” ujarnya sambil tertawa. Beliau sendiri sudah pergi haji 1 kali.  “gak dikasih izin sama istri” jawab Pak Sabar sambil mesem, ketika ada seorang teman yang bertanya kenapa istri beliau cuma satu saja.
Pak Sabarudin sendiri kini memperkerjakan sekitar 50 orang di lahan yang dia punyai dengan luas lahan sekitar 75 are.  Total lahan tembakau di lombok sendiri sekitar 20.000 an hektar.

Seperti yang sudah saya sebutkan diatas tadi, selain pariwisata mungkin saat ini pertanian tembakau menjadi salah satu sendi kehidupan di kawasan Lombok Timur.
Dengan adanya peningkatan pendapatan, bertambah pula wawasan.  Anak-anak petani kini banyak yang bersekolah tinggi, bahkan beberapa diantara meneruskan usaha orang tuanya setelah menyelesaikan jenjang perguruan tinggi.
Harapan mereka mungkin sama dengan petani di daerah lainnya, yaitu tidak terjadinya gagal panen, harga jual yang baik dan adanya bantuan dalam berbagai bentuk baik dari pihak pemerintah maupun mitra swasta.

Hari keempat di Lombok, jam telah menunjukkan pukul 4 pagi. Saya dan kawan-kawan bergegas menuju ke bandara untuk pulang ke tempat asal masing-masing.  Sampai jumpa lagi, Lombok!


Di Tanjung Aan

Penenun di Desa Sade

Haji Sabarudin

Di Kebun Tembakau

Pendakian Ke Gunung Prau Dalam Kabut Bulan November

$
0
0





Soto Sokaraja di Purwokerto menjadi pilihan kami untuk sarapan pagi di hari sabtu itu. Semua orang segera menyantap pesanannya masing-masing ketika mangkok-mangkok putih berisi soto mendarat di meja.
Setelah beres dengan urusan perut, dengan menggunakan 2 mobil rombongan kami yang kali ini terdiri dari 14 orang meluncur ke dataran tinggi Dieng setelah kemarin malam menuntaskan perjalanan dari Jakarta ke Purwokerto dengan menggunakan kereta api.

“jam berapa, bud?” tanya saya ke budi beberapa saat setelah kami sampai di area pintu masuk pendakian Gn. Prau.  “jam 2 kurang, de. Paling ntar kita mulai naik jam 3’, jawab budi sambil melihat ke jam tangan nya.
Beberapa dari kami, membeli beberapa makanan yang masih kurang sekaligus re-packing ransel yang kami bawa.
Mas Meno, yang membantu kami dalam perjalanan kali ini, langsung membagi tugas pada beberapa orang (porter) yang akan membawa ransel-ransel (besar) kami.
Sore itu, terlihat di pintu masuk pendaki-pendaki lain yang juga berencana melakukan pendakian ke Gn. Prau.

Baru saja beberapa menit kaki melangkah, hujan pun turun dan terpaksa semua orang mengeluarkan  jas hujan dan payung agar terlindung dari guyuran hujan.
Namun tak lama begitu lama, jas hujan di masukkan kembali ke dalam tas masing-masing setelah hujan berhenti.

Trek yang kami lalui dimulai melewati kebun penduduk hingga memasuki kawasan hutan Gn. Prau dimana jalanannya semakin menanjak.
Ketika sudah melewati Pos II, hujan yang lebat diiringi angin yang bertiup kencang sempat ‘menemani’ perjalanan kami yang sebelumnya kabut memang sudah mullai turun.
Beberapa saat kami sempat berlindung di balik pohon besar, namun sadar bahwa hujan yang tak kunjung henti dan tubuh akan semakin dingin jika kita hanya berdiam diri, kami pun menerabas hujan yang disertai angin di penghujung bulan November ini.

Saya pun sempat memakaikan jaket windbreakerke Azzam sebagai tambahan jas hujan yang digunakannya, untuk menahan dingin nya cuaca.
“Azzam kedinginan gak?” ujar saya memastikan setelah menambahkan jaket tadi.  “udah enggak, pak!”sahutnya. 
“Azzam ingat kan, kalo kita harus terus bergerak dalam cuaca yang dingin”? Dia pun mengangguk tanda mengerti.  Berkalo-kali saya tetap mengingatkan pada Azzam untuk memberi tahu, jika ada hal yang kurang enak yang dia rasakan pada tubuhnya.  Untuk memastikan saja.
Tak ada keluhan atau rengekan darinya selama diperjalanan.  Azzam semakin mengerti manajemen dari sebuah perjalanan.

Tak bisa dipungkiri, Azzam memang semakin termotivasi dalam pendakian gunung, apalagi setelah dia menonton film Everest, yang merupakan kisah nyata perjalanan Rob Hall dan beberapa orang lainnya menuju puncak tertinggi didunia.
Seperti biasa, sepanjang perjalanan kami selalu ngobrol.  “Kenapa di Everest semua pake tongkatnya dua, pak?” (yang dia maksud adalah tongkat utk mendaki/trekking pole).  “kalau kita diam, bisa beku ya, pak?”. Hal-hal seperti itulah yang kita bicarakan.

Untungnya hujanpun reda sebelum kami tiba di pos III.  Saya dan Azzam lalu ditemani mas Rosid (salah satu porter) mengambil jalur yang keatas, sedangkan beberapa teman yang juga dalam rombongan paling depan, mengambil jalur bawah.  Memang untuk menuju pos III ada 2 jalur yang nantinya akan ketemu di ujung letaknya pos III.
Diatas, jalur yang disebut melewati tower (karena memang ada tower yang berdiri disana), kami sempat berhenti dan menikmati pemandangan indah bukit diseberang.  “bagus ya, pak liat dari sini?” ujar Azzam seraya menunjuk ke arah bukit diseberang.  “Iya, zam emang cakep pemandangannya’, balas saya.

Akhirnya kami tiba di Pos III dan bertemu dengan teman-teman serombongan.  Sambil menunggu rombongan yang berada paling belakang (termasuk bundanya Azzam), kami mengeluarkan dan menyantap snack (makanan ringan) yang kami bawa dalam ransel.


Setelah hujan reda


Perjalanan kembali kami lanjutkan.  “Sekarang jalannya sedikit aja nanjaknya, setelah itu akan datar kok sampai kita ke tempat nge-camp”, mas Rosid coba menjelaskan kepada kami. OK.

Sekitar 20 menit berjalan ditengah gerimis kecil, angin yang bertiup lumayan kencang dan kabut yang tebal membuat jarak pandang tak begitu jauh.  Di sebelah kiri kami saya melihat ada tenda yang terpasang dari rombongan lain.  Saya memutuskan untuk singgah ke tenda rombongan tersebut untuk memasangkan kupluk (agar dia merasa lebih hangat) ke kepala Azzam sambil menunggu teman yang berada di belakang kami.

Tak lama kemudian, tampak ada beberapa orang yang melewati tenda tadi, 1 porter, bunda nya Azzam, Sukma Ayu dan Alin.  Saya pun berteriak memanggil mereka untuk segera bergabung.  Tak lupa berterima kasih pada rombongan di tenda tempat kami menumpang sementara tadi.  Azzam tampak bersemangat meneruskan perjalanan.

Hari mulai gelap ditambah kabut yang memang sedari tadi cukup tebal, senter pun dikeluarkan untuk menerangi jejak langkah kami. 
Sekitar 10 menit berjalan, kami berbelok menurun ke kiri dan disanalah terdapat tenda-tenda dari rombongan kami yang lebih dulu sampai sudah berdiri tegak.

Malam itu di perkemahan, tak banyak kegiatan yang dapat kami lakukan diluar tenda karena dinginnya udara.  Sempat ngobrol-ngobrol sebentar di luar tenda, lalu setelah semua orang masing-masing menyantap makan malam, kali ini tubuh yang harus diistirahatkan.

Pagi harinya, kabut tampak masih cukup tebal menyelimuti area gunung dengan ketinggian 2565 mdpl tersebut.  Jarak pandang hanya sekitar 50 meter saja.
Masing-masing tenda mulai sibuk dengan kegiatan menyiapkan sarapan sambil mengobrol kesana-kemari. Tak lupa berfoto-foto pastinya. Bukit kecil disekitar tenda kami penuh dihiasi bunga daisy yang berwarna-warni.

Jam menunjukan sekitar pukul 9 pagi ketika kami memutuskan meninggalkan Gn, Prau untuk turun.  Matahari sempat mucul malu-malu diantara kabut yang masih setia menemani.
Beberapa ratus meter berjalan dari tempat kami berkemah tadi malam, tampak tenda-tenda yang masih berdiri dan orang-orang yang masih menikmati suasana disana.
Jalur turun yang kami pilih memang berbeda dengan jalur kami mulai mendaki kemarin.  Jalur dieng kami pilih untuk mulai mendaki dan jalur Patak Banteng untuk turunnya.

2 mobil sudah menunggu kami di jalanan utama. Satu persatu teman-teman yang lain akhirnya sampai dengan jeda waktu yang tak lama.
Setelah kami semua berkumpul, perjalanan kami lanjutkan menuju Purwokerto untuk kembali ke Jakarta dengan menggunakan kereta api.

Dalam perjalanan kali ini, beberapa dari kami sempat terbersit rencana untuk kembali ke Gn. Prau dengan waktu yang lebih lama karena ini memang pendakian pertama (khususnya keluarga kami) ke Gn. Prau. Ya, semoga nanti kami kembali lagi.


Pintu masuk pendakian jalur Dieng

Tenda-tenda kami

Foto Rombongan
 
Berdo'a sebelum turun

Pulang...

Jalur Patak Banteng

Berjalan bersama...














Menyambut 2016 di Batu Tapak Camping Ground

$
0
0




“Kemping Yuk” itu status di facebook saya sekitar semingguan sebelum tahun baru.  Beberapa teman mengomentari nya.  Ada beberapa teman yang tertarik untuk ikutan.
Akhir tahun kali ini kami rencanakan untuk menghabiskannya camping di Batu Tapak, setelah beberapa tahun hanya kami lewatkan di dalam kota saja.

Dengan berbekal tiket pulang-pergi Bogor-Cicurug (Sulabumi) ditangan, pagi itu kami sudah berada di stasiun Paledang sekitar 45 menit sebelum keberangkatan kereta api Pangrango.  Jadi masih sempat untuk sarapan disekitaran stasiun.

Satu persatu penumpang yang sudah menunggu sedari tadi memasuki kereta yang penoperasiannya mulai kembali pada sekitar bulan november 2013 itu setelah sempat tidak digunakan untuk beberapa lama.
Sekitar kurang lebih 1 jam kereta pun tiba di stasiun Cicurug.  Berjalan keluar stasiun menuju jalan raya, tampak angkutan kota (angkot) sudah menunggu untuk mengantarkan kami ke tujuan akhir kami kali ini, Batu Tapak Camping Ground, Cidahu.

“Wah, akhirnya datang lagi mas Dede”ujar om yulius saat melihat kami di lobby.  Ya, memang kami sudah sekitar 4 kali ke tempat ini, namun yang terakhir sudah lumayan lama, sekitar 3 tahun lalu.
Om Yulius pun menyampaikan beberapa penambahan fasilitas yang ada disana saat ini.  “Sekarang kalo mau spa atau refleksi sudah ada disini” terang om yulius sambil menunjuk ke ujung ruangan lobby, dimana pengunjung yang datang bisa menikmati refleksi. 
Selain fasilitas tadi, ada area untuk ‘outbound’ bagi pengunjung.  Kalau yang ini memang terlihat relatif baru, karena petugas nya pun belum banyak.  Azzam pun sempat menjajal fasilitas tersebut.

Saat makanan yang memang sudah kami pesan sedari tadi datang, Dony bersama ketiga anaknya pun sampai disana.  Rupanya sang istri gak ikutan kali ini, karena masih harus bekerja setengah hari hingga tanggal 31 desember. 
Dony salah satu teman yang menyambut ajakan saya untuk rencana Tahun Baru kali ini.

”Yuk, kita turun” ajak saya kepada semua.  Kami semua bergegas turun kebawah menuju lokasi camping yang kami pilih.  Sepertinya sudah tak sabar. anak-anak begitu antusias menyambut ajakan saya. 2 tenda sudah berada disana saat kami tiba, kamipun mendirikan tenda kami hanya berjarak beberapa meter dari 2 tenda tersebut.

Setalah berganti pakaian untuk berbasah-basahan, Azzam, Una, Saga dan Binar langsung bermain di sungai yang tak jauh dari tenda kami terpasang.  Puas bermain air di sungai, berlanjut berenang ke air terjun mini yang dibawahnya membentuk seperti kolam sementara kami para orantua menyiapkan cemilan sore untuk mereka.

Keesokan paginya, setelah semuanya sarapan, kami memutuskan untuk trekking ke air terjun yang jaraknya sekitar 20 menit-an dari tenda kami. 
Seolah tak puas bermain air, sekembalinya dari air terjun anak-anak masih bermain air di air terjun mini yang berada di dekat tenda kami.

Trekking ke air terjun


Liat Depan.....


Sekitar jam 8 malam, helmi dan keluarga nya sampai juga ke tempat kami berkemah.  Saya langsung membantu helmi untuk mendirikan tenda sementara anak-anak nya langsung bermain dengan anak-anak yang lain disekitaran api unggun yang sudah kami nyalakan sejak sehabis maghrib.

 
Api Unggunan

“ntar aku dibangunin ya jam 12 malam”ujar Azzam yang diikuti juga oleh Rahel dan Rafa seoalah tak mau ketinggalan moment.  Mereka memang kami beritahukan bahwa nanti tepat pergantian tahun akan ada pesta kembang api yang diadakan oleh Batu Tapak Camping Ground.

Kembang api mulai terlihat di langit Batu Tapak saat tengah malam, anak-anak pun dibangunkan untuk melihat pesta tersebut sesuai kesepakatan diawal. Lumayan, pesta kembang api berlangsung sekitar 20 menit dan akhirnya kami semua masuk tenda untuk beristirahat.

Keesokan paginya, seperti sudah tak sabar anak-anak langsung ke air terjun mini setelah menghabiskan sarapan masing-masing.  Rupanya 3 hari disana, seperti saatnya berbasah-basahan bagi kami semua.  Selain itu selama disana, mereka juga melewatkan waktu dengan berlari-larian, main tebak-tebakan dan juga tiduran dalam hammock yang juga kami pasang di dekat tenda hingga mencari kayu untuk dibakar saat api unggunan.

Setelah semuanya puas bermain-main, akhirnya sekitar pukul setengah duabelas kami memutuskan untuk meninggalkan Batu Tapak Camping Ground.

Selamat Tahun Baru! Sampai bertemu lagi di Batu Tapak, kawan-kawan.....



Bikin burger

 
Berjemur setelah berenang


Yeeaaa....

Taman Nasional Gunung Leuser ( Bagian-1) #FamilyGoesToNationalPark - Menyapa Orangutan Di Bukit Lawang

$
0
0


Ibu dan anaknya



Taman Nasional

Gagasan dari sebuah taman nasional pertama kali muncul pada awal abad ke-19. Pada 1810 puitris Inggris William Wordsworth menggambarkan Danau Districtsebagai "sebuah bagian dari hak milik nasional di mana setiap orang memiliki hak bagi yang memiliki mata untuk menerima dan sebuah hati untuk menikmati".

Usaha pertama oleh pemerintah untuk menetapkan tanah terlindungi tersebut dilakukan oleh Amerika Serikat, ketika Presiden Abraham Lincoln menandatangani "Act of Congress"pada 30 Juni1864, menetapakan Lembah Yosemitedan Mariposa Grovedi Giant Sequoia(pusatnya akan menjadi terkenal ke seluruh dunia Taman Nasional Yosemite) kepada negara bagian California.
Namun, visi Taman Nasional belum lengkap di Yosemite, dan membutuhkan usaha dari John Muir untuk memberikan hasil. Yosemitetidak menjadi taman nasional secara legal sampai 1 Oktober1890.
Pada 1872, Taman Nasional Yellowstonediresmikan sebagai taman nasional pertama di dunia.  Langkah pemerintah Amerika Serikat ini kemudian diikuti oleh negara-negara lainnya di dunia.

Di Indonesia sendiri, menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Taman Nasional salah satunya didefinisikan sebagai kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi.

Taman Nasional Leuser sebagai salah satu Kawasan Pelestarian Alam di Indonesia mempunyai luas 1.094.692 Hektar yang secara administrasi pemerintahan terletak di dua Provinsi Aceh dan Sumatra Utara. 
Secara yuridis formal keberadaan Taman Nasional Gunung Leuser untuk pertama kali dituangkan dalam Pengumuman Menteri Pertanian Nomor: 811/Kpts/Um/II/1980 tanggal 6 Maret 1980 tentang peresmian 5 (lima) Taman Nasional di Indonesia, yaitu; TN.Gunung Leuser, TN. Ujung Kulon, TN. Gede Pangrango, TN. Baluran, dan TN. Komodo.
Hingga saat ini terdapat 51 Taman Nasional di Indonesia, yang pengelolaannya di bawah Kementerian Kehutanan Republik Indonesia.

Nah, itu sekilas informasisingkatawal pembentukan Taman Nasional di dunia maupun di Indonesia.

Saya dan istri kebetulan mempunyai minat yang sama, yaitu jalan-jalan. Bahkan sebelum menikah,  kami sudah traveling bersama ke beberapa tempat. 
Pada dasarnya kami selau senang dan antusias mendatangi tempat-tempat baru yang belum kami datangi, merasakan atau menikmati alam nya, budaya nya, hingga makanan nya.  
Namun kami memang lebih sering memilih jalan-jalan ke alam.  Tak jarang kami mengunjungi tempat yang sama hingga lebih dari 5 atau 10 kali, bahkan lebih. Untuk beberapa tempat memang dapat membuat kami merasa nyaman dan rindu karenanya.
Nah, hobi inilah yang kami kenalkan ke anak sejak dia masih kecil. Bahkan perjalan pertamanya ke alam (camping) saat usianya masuk 15 bulan.

Bicara soal wisata alam, saya dan istri, sudah sejak lama mempunyai keinginan untuk meng-eksplor Taman-Taman Nasional di Indonesia.  Apalagi ketika hadirnya Azzam, anak laki-laki kami, keinginan itu bertambah kuat. 

Tujuan keluarga kami dalam menjelajah Taman Nasional adalah selain sebagai rekreasi keluarga, juga tentunya ingin memberikan edukasi (terutama kepada anak kami) sebagai generasi penerus.  Kami berharap pengetahuan dan pengalaman yang dia dapatkan akan membuat dia lebih bisa untuk menghargai dan mencintai alam, yang sekaligus akan memperluas  wawasannya.
Earth and sky, woods and fields, lakes and rivers, the mountain and the sea, are excellent schoolmasters, and teach some of us more than we can ever learn from books. John Lubbock
Read more at: http://www.brainyquote.com/quotes/quotes/j/johnlubboc122570.html
Earth and sky, woods and fields, lakes and rivers, the mountain and the sea, are excellent schoolmasters, and teach some of us more than we can ever learn from books. John Lubbock
Read more at: http://www.brainyquote.com/quotes/quotes/j/johnlubboc122570.html
Earth and sky, woods and fields, lakes and rivers, the mountain and the sea, are excellent schoolmasters, and teach some of us more than we can ever learn from books. John Lubbock
Read more at: http://www.brainyquote.com/quotes/quotes/j/johnlubboc122570.html

Selain selalu berbagi atas apa yang kami ketahui, yang kamiinginkan juga untuk anak kami adalah memberi dia kesempatan untuk melihat dan merasakan nya langsung. Kesempatan baginya tidak hanya tahu Taman Nasional, hutan dan segala yang ada didalamnya hanya melalui cerita, foto yang ada di buku/majalah ataupun melalui chanel-channel tv dan internet.  




"Earth and sky, woods and fields, lakes and rivers, the mountain and the sea are excellent schoolmasters, and teach some of us more than we can ever learn from books".
(John Lubbock)



Penjelajahan keluarga yang kami mulai di bulan Maret 2016 ini kami beri slogan/tagline#FamilyGoesToNationalPark yang didukung oleh #EigerAdventure.  Tentunya sesuai tagline nya, ingin mengajak keluarga-keluarga di Indonesia untuk menjelajahi Taman-Taman Nasional di Indonesia yang sangat kaya akan ilmu.
Kami akan mencoba berbagi apa yang kami rasakan, lihat dan alami dan berharap dapat bermanfaat bagi orang lain.


#FamilyGoestoNationalPark

Setelah membuat beberapa survey melalui tulisan, video di internet dan juga berbicara pada beberapa kawan, akhirnya kami memutuskan Taman Nasional Gunung Leuser sebagai tujuan pertama dalam misi kami untuk menjelajahi Taman-TamanNasional di Indonesia.  Meskipun dalam perjalanan sebelumnya kami sudah pernah mengunjungi beberapa Taman Nasional di Indonesia. 
Taman Nasional Gunung Leuser sendiri mempunyai beberapa pintu masuk, karena memang wilayahnya yang mencakup provinsi Aceh dan Sumatra Utara.    

Sekitar 2 jam lebih 10 menitkami terbang dari Jakarta ke Medan dengan Citilink.  Di pintu kedatangan, tampak seseorang dengan kertas bertuliskan nama saya.  “Mas Bibit, ya?” ujar saya.  Dia mengangguk.  Mas Bibit inilah yang akan membawa kami ke Bukit Lawang di hari pertama ini.
“nanti jalanan nya agak sedikit rusak dan berlobang, mas”, ujar mas bibit kepada saya di tengah-tengah obrolan kami di dalam mobil. Menurut mas Bibit, jalanan yang rusak menjadi salah satu alasan wisatawan dari Kota Medanke Bukit Lawang.  Medan adalah kota besar yang lumayan dekat dari Bukit Lawang, dapat menjadi pengunjung lokal yang potensial.

Kira-kira 3 jam perjalananakhirnya kami sampai di Bukit Lawang.  Bang Zefri dari Ecolodge, tempat kami akan menginap, tampak berdiri menyambut kami di parkiran.
Setelah check-in, kami lalu dikenalkan dengan Putra.  Putra inilah yang akan menjadi guide kami untuk masuk ke dalam kawasan TNGL. 
Besok adalah rencana kami untuk trekking kesana, maka hari ini kami putuskan unutk mengekspor daerah sekitar, sekaligus sebagai pengenalan.

“kita ke sungai landak aja, disana bagus untuk berenang, main air. Sepi juga” ujar Putra.  Sepakat dengan usulannya, kamipun ke sungai landak dan sampai disana dalam waktu sekitar 45 menitSaat kami tiba, tampak hanya ada 2 orang disana yang sedang berenang.  Kami pun segera ikut menyebur kedalam sungai sekaligus membasuh badan yang memang berkeringat setelah trekking menuju sungai ini.
Tak peduli dengan dinginnya suhu air di tempat ini, azzam seakan tak mau keluar dari dalam sungai yang bening dan bersih itu.  Apa daya, berlama-lama di air akhirnya membuat perut kami terasa lapar.  Teh dan kopi hangat juga mie rebus telah menyambut dipinggir sungai. 
Sore itu hujan sempat turun sebentar menemani perjalanan kami kembali ke penginapan.


Main air...

Keesokan harinya sekitar pukul 8 pagi, kami memulai perjalanan ke TNGL.  Putra, sang guide membawa satu orang kawannya untuk ikut menemani kami, Rudi namanya.
Welcome To Gunung Leuser National Park. Begitu tulisan yang terpampang di gapura sebagai tanda kami akan memasuki wilayah Taman Nasioanal Gunung Leuser.


Sumatran Orangutans are critically endangered !

Welcome To Gunung Leuser National Park
  
“Nah, ini Zam giant ant (semut raksasa).  Yang ini betina, kalo yang jantan kepalanya lebih besar lagi” ujar Putra sambil menunjukkan seekor semut berukuran sekitar 3 cm yang diletakkan di telapak tangannya.  “wah, besar ya semut hutan”, sahut Azzam yang langsung memotret semut tersebut dengan kameranya.
Iguana, monyet ekor panjang dan thomas leaf monkeydan orangutan termasuk hewan-hewan yang juga kami jumpai selama trekking

“Mana Orangutan nya ?” tanya Azzam pada Putra.  “Sebentar lagi mungkin kita ketemu mereka. Berdoa aja” jawab Putra.  Memang, untuk bertemu Orangutan agak sedikit butuh keberuntungan, karena memang cara hidup mereka yang berpindah-pindah.  Tak hanya di satu tempat saja.
Selang beberapa puluh meter berjalan,kami melihat beberapa orang sedang melihat ke arah atas.  Nah rupanya di area ini ada Orangutan nya.  Kami pun berhenti di tempat itu.
Satu persatu pengunjung berdatangan di tempat itu.  Semuanya berhenti, melihat takjub, dan tak lupa mengabadikan Orangutan itu dengan kamera-kamera mereka.
Di Indonesia Orangutan Sumatra merupakan spesies mamalia yang dilindungi.  Hewan yang termasuk dalam spesies langka ini masuk dalam program konservasi di TNGL, namun ketika mereka sudah mampu beradaptasi dengan lingkungannya, mereka akan dilepas ke alam bebas. 


Sang Raja Kawasan

Tuh zam,liat gak ada yang bareng anaknya. Lucu ya ? ujar istri saya sambil menunjuk ke salah satu pohon.  Azzam pun memandang ke atas menuju arah yang ditunjuk bundanya.
“Yang itu namanya si Pesek”ujar Putra menjelaskan.  Rupanya tiap-tiap Orangutan yang ada di kawasan ini diberikan nama ketika.
Seekor Orangutan jantan turun dari atas pohondan kemudian berjalan di tanah. Para guide pun menginstruksikan pada para pengunjung untuk menjaga jarak aman dengan primata tersebut.  
Setelah beberapa lama disana, kamipun melanjutkan perjalanan.

Selang setengah jam berjalan, saatnya kami berstirahat. Rudi yang menemanidengan sigap mengeluarkan buah semangka dan nenas dari dalam tasnya lalu memotong-motongnya untuk disantap.  Nikmat rasanya menyantap pisang dan nenas setelah trekking.  Menikmati buah-buahan segar sambil menikmati pemandangan hutan yang indah.  Merasa sudah cukup beristirahat, kami melanjutkan perjalanan.  


Istirahat dulu...

Sedang asyiknya kami menikmati trekking, tiba-tiba Rudi mencoba memberi tahu kami yang berjalan didepan “Tuh, ada si Wati diatas” ujarnya setengah berteriak.  Ternyata ada lagi Orangutan yang kami temui.    Mengambil posisi masing-masing, kamipun melihat tingkah Wati si Orangutan yang bergelantungan diatas pohon.  Dia berpindah-pindah dari satu batang pohon ke batang lainnya.  Selang 20 menit, perjalanan kami teruskan, rupanya wati si Orangutan sempat mengikuti kami dari atas pohon sejauh beberapa puluh meter.

Trekking

Akhirnya sampailah kami dipingir hutan dan memasuki jalanan yang merupakan tumpukan batu-batu berukuran sedang.  Di sebelah kanan sudah terdengar riak Sungai Bahorok.  Perjalanan kami trekking di hutan TNGL yang memakan waktu sekitar 3 jam akan kami lanjutkan dengan menilkmati sejuknya suhu air Sungai Bahorok yang bersih dan jernih.  Badan kami yang sudah berkeringat, terasa kembali segar ketika menceburkan diri kedalam sungai.  Azzam menikmati sungai dengan berendam, berenang, menyeberang sungai yang arusnya lumayan deras.  Putra dengan setia selalu menemaninya.  Dalam hal bersosialisasi dengan orang yang baru dikenalnya, Azzam termasuk cepat beradaptasi.  Mungkin ini juga karena sejak kecil dia sudah terbiasa bertemu orang-orang baru yang bukan dari lingkungan dekatnya.


Gembira....

Dipinggir sungai ada seseorang yang sedang menyatukan ban-ban dalam yang berukuran besar dengan tali.  Rupanya orang tersebut yang nantinya akan membawa kami kembali ke bawah dengan mengarungi sungai bahorok.
Setelah menghabiskan makan siang dipinggir sungai dan masih merasa belum puas bermain air, kami semua kembali kedalam sungai ditengah-tengah cuaca yang memang cukup panas.
“Ayok, udahan. Kita pulang ya?” ujar saya.  Sambil mengkerutkan mukanya Azzam berkata “Yah, udahan ya?” “Ntar di bawah sana masih bisa main air lagi kok, zam” saut Putra.  Rupanya omongan Putra itu cukup menenangkan Azzam.  Kami semua naik ke atas ban dalam termasuk perlengkapan bersiap untuk mengarungi sungai.

Tak terasa sekitar setengah jam, melewati beberapa jeram kecil dan juga air yang tenang akhirnya kami tiba diakhir perjalanan hari ini.  Sepanjang pengarungan, tampak terlihat para pengunjung yang menikmati menghabiskan hari Minggu mereka disana.
Di garis akhir perjalanan tubing, azzam masih menghabiskan waktu hingga sore, bermain-main di sungai sebelum akhirnya kami kembali ke penginapan. 
Malam harinya, kami kembali membereskan segala perlengkapan kami, karena besok akan meneruskan perjalanan ke Tangkahan.


Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) Bagian 2 #FamilyGoesToNationalPark - Merasakan Harmoni Alam Tangkahan

$
0
0




Hari masih gelap, jarum di jam tangan menunjukkan pukul 05.20 tatkala alarm di handphone membangunkan saya.
Azzam dan bundanya masih tertidur pulas. Perlahan, saya membangunkan istri saya dan kemudian diapun bergegas untuk mandi.
Saya memilih untuk tidak mandi di pagi hari yang dingin itu, begitu pula dengan Azzam.

Sesuai dengan janji, kami akan berangkat dari Bukit Lawang jam 06.00, saya pun mengontak Bang Ucok yang akan membawa kami menuju Tangkahan. "Dimana, bang Ucok?" ujar saya.  “Udah dekat nih. Sori ya, tadi isi minyak dulu” balasnya. Kamipun segera memasukkan satu persatu ransel-ransel ke dalam mobil.
Deru mesin Diesel mobil Taft 4x4 membelah sunyinya Bukit Lawang dipagi itu. Perjalanan menuju Tangkahan bisa ditempuh dalam waktu sekitar 2,5 jam dalam kondisi normal.  Saya membayangkan jika jalanan tanah berlobang dan bebatuan ini diguyur hujan, pasti akan sulit dilewati oleh mobil yang tak bergardan ganda.

“Saya disebelah sini, bang” jawab Kak Wiwin saat saya menelepon nya begitu kami sampai di depan kantor Lembaga Pariwisata Tangkahan (LPT).
Segera kami menurunkan ransel-ransel dari dalam mobil, kak Wiwin pun menghampiri saya seraya berkata “selamat datang di Tangkahan, bang….” Saya tersenyum membalasnya.
Setelah mengenalkan istri dan anak saya, kami pun mengkonfirmasi rencana yang telah kami bicarakan beberapa hari sebelum kami berangkat ke Medan.

Tangkahan yang terletak di Langkat, Sumatra Utara ini merupakan salah satu pintu masuk menuju TNGL.  Ketika menyebut Tangkahan, salah satu yang akan terngiang adalah ”Gajah”.  Gajah-gajah disana berada dalam pengawasan CRU (Conservation Response Unit).  Gajah-gajah ini digunakan untuk berpatroli di kawasan TNGL.  Dalam hal kegiatan pengunjung yang ingin memandikan gajah, LPT inilah yang berkerjasama dengan CRU. 

Pagi itu kami langsung dibawa ke kandang gajah.  Disana terlihat beberapa ekor hewan besar itu sedang menyantap sarapan paginya.  Ada 2 ekor gajah kecil yang masih berumur 2 tahun-an.  Gajah-gajah pun lalu digiring berbaris rapi menuju sungai.  Kami bertiga dan 1 keluarga lagi, pengunjung asal Amerika mengikuti dari belakang.
Disinilah aktifitas kami pagi ini dengan memandikan gajah.  Satu persatu gajah masuk ke dalam sungai lalu merebahkan badannya setelah diberi perintah oleh Mahout (pawang gajah). Para pengunjung yang telah dibekali sikat, boleh memilih gajah mana yang akan dibersihkan.  

memandikan gajah



Semua orang tampak exciteddan senang dalam melakukannya.  Dengan aba-aba dari Mahout, si gajah menyemprotkan air dari belalainya ke arah pengunjung. Byuurrrr…….bagaikan di semprot selang besar, basahlah seluruh badan kami.  Jadilah pagi itu kami mandi bersama gajah-gajah sekaligus memberi makan dengan pakan yang sudah disediakan.


Dimandiin gajah :))
 
Bersama Mahout dan gajah


Setelah kegiatan memandikan gajah, kami check-indi Mega Inn (salah satu dari 20-an penginapan di Tangkahan) dan bertemu dengan Pandi sambil menyantap makan siang.  Pandi adalah guide yang akan menemani kami besok untuk trekking dan menginap di hutan.  “rencana mau ngapain lagi hari ini, mas?” tanya Pandi ke saya.  Saya balik bertanya padanya “kira-kira kita bisa kemana sampai sore nanti?”. Dari percakapan kami akhirnya kami putuskan untuk trekking menyusuri sungai.  “Kita bisa singgah di air terjun dan mandi-mandi di dekat penginapanGreen Lodge sana” ujarnya
Sekitar 15 menit berjalan, sampailah kami di air terjun garut, sebuah air terjun kecil namun airnya cukup deras.  Kami bertiga mencoba duduk dibawah air terjun sesuai arahan Pandi.  “Lumayan kan? rasanya seperti di pijit?”ujarnya dan kami pun mengiyakan setelah merasakan jatuhan air ke punggung kami.  Setelah puas merasakan sejuk dan pijatan air terjun guntur, kami melanjutkan menyusuri Sungai Batang.
Di sungai batang yang bersih dan dingin ini, saatnya bagi kami untuk menyegarkan diri lagi.   


Sungai Batang

Setelah sekian lama bermain-main di sungai, hanya Azzam rupanya yang bertahan berlama-lama di air yang cukup dingin tersebut. Untuk menghangatkan tubuh, kami sepakat untuk mendatangi cafe green lodge yang letaknya agak keatas.  Mie goreng, kopi dan teh menjadi pilihan yang cocok rupanya untuk cuaca yang mulai mendung tersebut.  Ditambah pemandangan ke arah hutan TN Gunung Leuser yang indah.

“Yah, kan hujan deh” ujar Azzam yang sebenarnya masih ingin main di sungai, .  Namun dia bisa menerima penjelasan kami bahwa agak berbahaya untuk bermain di sungai saat hujan yang lumayan lebat.  
Ketika hujan mulai mereda dan hari semakin sore, kami memutuskan untuk kembali ke penginapan mega inn yang berjarak sekitar 10 menit dari green lodge.


Pemandangan hutan Leuser dari cafe

Saya memesan secangkir kopi, istri memilih teh dan pisang goreng, sedangkan Azzam dengan susu dan pancake untuk sarapan kami pagi itu sambil menunggu Pandi yang akan menemani kami untuk menginap di hutan malam ini.
“selamat pagi” ujar Pandi ketika kami masih sedang menyantap sarapan.  “Pagi, udah sarapan?” tanya saya padanya.  “Sudah” jawabnya singkat.

2 ransel besar kami titipkan di penginapan, kami hanya membawa keperluan pribadi saja.  Dengan menaiki 2 sepeda motor, kami menuju tempat dimana untuk memulai trekking.
Dimulai dari melewati jembatan kayu sepanjang sekitar 100 meter yang kayu-kayunya berjarak lumayan jarang dan tampak sudah lama, kami harus ekstra hati-hati dalam melangkah sambil berpegangan pada tali yang dipasang sebagai pengaman.

Jembatan menuju hutan

Melewati jembatan, kami mulai memasuki wilayah ladang warga.  Ladang warga ini langsung berbatasan dengan wilayah Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL).
Setelah berjalan sekitar 45 menit, kami sampai di sebuah sungai.  “Nah, kita tinggal menyeberang kesana, langsung masuk ke wilayah TNGL”ujar Pandi memberi tahu kami sambil menunjuk ke seberang sungai.  Dia pun mulai mengeluarkan tas kantong plastik ukuran besar untuk membungkus ransel, sepatu kami agar tidak basah ketika menyeberang.  Saya dan Pandi menyeberangi sungai sebatas dada dengan membawa barang-barang yg sudah dibungkus tadi.  Istri saya memilih menaiki ban dalam milik warga yang kebetulan bertemu disana.  Pandi mendorong ban dalam untuk menyeberangkan istri saya, sementara Azzam berenang disekitar ban dalam dengan girangnya.

Sambil menunggu 2 teman porter lainnya yang menyusul, kami menghabiskan waktu dengan berenang dan bermain di sungai dengan pemandangan yang memanjakan mata.
“Nah itu mereka datang” teriak Pandi saat terlihat 2 orang di seberang sungai dengan 2 ransel besar.  Jempol dan Doman itu nama mereka.  Sesaat sampai di tempat kami, mereka langsung menyiapkan makan siang kami. 
Selepas makan siang, kami bersiap-siap memulai trekking ke dalam hutan Taman Nasional Gunung Leuser. 

Tipikal hutan hujan tropis langsung terasa ketika kami masuk kedalamnya.  Hutan yang lebat dan rapat semakin indah ditambah suara burung-burung yang seakan-akan menyambut kedatangan kami. Taman Nasional Gunung Leuser sangatlah luas, mencakup hutan bakau, hutan rawa, hutan hujan dataran rendah, hutan lumut, dan sampai hutan subalpine dengan berbagai ekosistem.

Hutan tropis Sumatra
Hutan tropis Sumatra

Menurut data yang pernah saya baca,  ada sekitar 130 spesies hewandapat diidentifikasi di Taman Nasional Gunung Leuser, yaitu: harimau sumatera, gajah, badak, siamang, kera, macan tutul, reptil, ikan, dan juga 325 spesies burung di hutan yang maha luas ini.  Betapa luasnya taman nasional ini.  Bahkan beberapa teman mengomentari foto yang kami unggah.  "Kalian ketemu Leo gak?" yang mereka maksud adalah Leonardo DiCaprio, sang aktor pemenang Oscar 2016 yang kebetulan juga sedang berada di kawasan TN Gunung Leuser.  Dia masuk lewat bagian Provinsi DI Aceh, sedangkan kami dari Sumatra Utara.


Trekking

“Dulu illegal logging semacam menjadi mata pencaharian masyarakat disini.  Namun seiring berkembangnya wisata disini, banyak yang menjadi pemandu dan porter.  Maka masyarakat turut punya andil dalam menjaga kelestarian hutan di TNGL, sebagia juga kembali menyuburkan ladang-ladang mereka yang sempat agak ditinggalkan” terang Pandi pada kami.  “Wah, bagus dong” ujar saya.
Memang di beberapa tempat yang kami lewati, masih ada sisa=sisa pohon berukuran besar yang sudah diselimuti oleh lumut yang tampaknya dulu bagian dari pembalakan liar.
Para pekerja wisata disana bahkan sudah terkordinir hingga menjadi lebih teratur oleh Lembaga Pariwisata Tangkahan.

Azzam tampak ceria dan menikmati selama trekking di hutan yang memang tak dapat disangkal keindahannya.  “Gak ada sampah nya ya, pak ?” ujar Azzam yang mungkin membandingkan dengan tempat lain yang pernah dia datangi.
Sesekali kami beristirahat sambil dan minum, kami pun berpose bertiga untuk difoto pastinya. 


Pose dulu ah...
"Gak ada sampah" kata Azzam.  Cuma daun-daun kering

Setelah berjalan sekitar 4 jam di kontur yang menanjak dan menurun, akhirnya kami sampai di depan sebuah pohon tumbang yang berdiamter sekitar 1 setengah meter.  Setelah melewati pohon tersebut tampak di depan kami sebuah gua.  Nah, inilah Gua Kambing, dimana kami akan bermalam.
Hijaunya pepohonan, kicauan burung, suara hewan-hewan lainnya dan air terjun yang tumpah dari atas goa merupakan paduan yang nyaris sempurna yang disajikan alam kepada kami. 

Tempat kami bermalam

Tadinya di malam hari kami rencanakan untuk melakukan “eksplorasi malam”, namun niat itu terpaksa kami urungkan karena hujan deras yang mengguyur sejak sore tadi hingga pukul 10 malam.  “lagian, pacetnya makin banyak” Jempol disela-sela pembicaraan tentang eksplorasi malam.
Wah iya, sore tadi ketika sampai di gua kambing, beberapa pacet yang sudah gemuk memang masih menempel di kaki-kaki kami.  Mungkin mereka sudah disana sejak trekking di dalam hutan tadi.  “Kaki bapak kayak abis tabrakan motor aja ” ujar Azzam yg melihat kaki saya yang disinggahi 5 ekor pacet. Hahahaha…. Sementara dikaki dan pundaknya pun tak luput dari pacet.
Malam harinya kami lewatkan berkumpul dengan bercakap-cakap, main tebak-tebakan, main kartu hingga akhirnya semua orang mengambil posisi masing-masing untuk beristirahat.

Terbangun di pagi hari yg cerah dengan alunan musik dari air terjun didepan mata, membuat suasana pagi begitu menyenangkan dan menenangkan. Jempol dan Doman tampak berada di ‘dapur’ menyiapkan sarapan.
Duduk sambil menyeruput teh dan kopi dengan pemandangan dan suasana luar biasa didepan mata, karena bukanlah hal yang bisa kami dapati sehari-hari.

Sarapan dengan ayam bakar, sayuran, sambal dan tak lupa buah nenas dan semangka utk pencuci mulut sudah dihidangkan.  “Makan yang banyak, Zam. Biar trekking nya kuat” ujar saya pada Azzam.  Diapun mengangguk mengiyakan.
2 porter kami sudah tampak menunggu di area yang sedikit luas ketika saya, bunda, Azzam dan Pandi sudah berjalan sekitar 30 menit dari gua kambing.  Kami berempat memang mengambil jalan yang sedikit memutar lebih masuk kedalam hutan.

Istirahat

“Kok gak berdarah ya?” ujar Azzam sambil membiarkan pacet yang dia biarkan bermain melompat-lompat di tangannya ketika sedang duduk beristirahat.  “Lah, kan dia gak abis hisap sesuatu, zam”, terang saya.  Dia juga menemukan lagi semut raksasa (giant ant) disekitaran tempat itu.

Perjalanan pun berlanjut hingga akhirnya kami sampai di pinggir sungai ditempat kami memulai trekking memasuki kawasan TNGL kemarin.
“Yeeeaaa….” teriak Azzam seakan tak sabar untuk lagi bermain di sungai.  Sementara makan siang di persiapkan, kembali kami bermain di sungai.  Kali ini bunda ikutan, tidak seperti kemarin.  Sehabis makan siangpun, Azzam kembali bermain di sungai, seperti tak terhentikan kenikmatan bermain di sungai merupakan bonus baginya.

Matahari sudah meninggi.  Saatnya semua orang naik ke atas ban dalam masing-masing. Jempol dan Doman menaiki beberapa ban dalam yang sudah dijadikan satu, sekaligus bersama ransel-ransel yang sudah di packing dalam kantong plastik besar.

Semua senang......

Begitu tau perjalanan pulang dengan menggunakan ban dalam (tubing), Azzam berteriak “seruuuuu….” Teriaknya.
Ditengah riak air yang sedang dan kadang ada yang agak tenang akhirmnya kami sampai di ujung perjalanan, tepat di dekat tempat kami menginap.
Dalam perjalanan kembali yang memakan waktu sekitar 45 menit, Azzam beberapa kali dengan  sengaja melompat dari ban dalam dan berenang girang.

Setelah mengucapkan terima kasih pada Jempol dan Doman yang sudah menemani masuk ke dalam hutan, kami masih lanjut bermain-main di sungai.  Bahkan setelah makan siang, kami kembali ke sungai dimana kami bermain beberapa hari yang lalu, menghabiskan waktu hingga sore hari menjelang.

Hari terakhir di Tangkahan, Mega sang pemilik penginapan sempat menemui kami.  “Sampai ketemu lagi ya, dan beritahu teman kalian yang lain untuk kesini” ujarnya.  “Pastinya, bang!” balas saya sambil menjabat tangannya.
Dalam hati, saya pun berharap kami dapat kembali ke tempat ini dalam waktu yang lebih lama.  Semoga….

Mobil yang sudah terparkir sejak pagi tadi, mengantarkan kami ke Medan.  Sebelum pulang ke Jakarta, kami msempat enghabiskan semalam menginap di Kota Medan.
Terima kasih Tangkahan, terima kasih teman-teman yang sudah membantu kami selama disana.  Sampai bertemu lagi….

Taman Nasional Gunung Leuser #FamilyGoesToNationalPark (Video)

$
0
0


Earth and sky, woods and fields, lakes and rivers, the mountain and the sea, are excellent schoolmasters, and teach some of us more than we can ever learn from books. John Lubbock
Read more at: http://www.brainyquote.com/quotes/authors/j/john_lubbock.html
Earth and sky, woods and fields, lakes and rivers, the mountain and the sea, are excellent schoolmasters, and teach some of us more than we can ever learn from books. John Lubbock
Read more at: http://www.brainyquote.com/quotes/authors/j/john_lubbock.html


"Earth and sky, woods and fields, lakes and rivers, the mountain and the sea, are excellent schoolmasters, and teach some of us more than we can ever learn from books". -John Lubbock


Taman Nasional Gunung Leuser menjadi penjelajahan pertama keluarga kami.  Taman Nasional yang merupakan perwakilan tipe ekosistem hutan pantai, dan hutan hujan tropika dataran rendah sampai pegunungan ini terletak di dua Provinsi, Aceh dan Sumatra Utara

Taman Nasional Gunung Leuser menjadi yang pertama bagi keluarga kami dalam rangka menjelajahi Taman-taman Nasional Di Indonesia yang kami beri tagline/slogan #FamilyGoesToNationalPark.

Mengenalkan alam beserta kekayaan yang ada didalamnya, budaya serta manusia yang ada disekitarnya kepada anak kami semenjak dini, tak lain adalah ingin memberikan kesempatan padanya untuk melihat, mendengar, merasakan dan mengalaminya secara langsung tidak hanya melalui buku-buku, internet ataupun mendengar dari orang lain.

Apa yang akan dia lalui, semoga akan membuat wawasannya lebih luas serta kecintaan nya pada alam.

Taman nasional sebagai Kawasan Pelestarian Alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi.

Semoga penjelajahan kami ke taman nasional ini akan terus berlanjut.  Kami berharap apa yang kami bagikan akan dapat bermanfaat bagi orang lain.  Sekaligus mengajak untuk lebih mengenal alam, mencintai sekaligus ikut menjaganya.


Kemping Bersama Dru Di Camp Bravo

$
0
0



 
“Bagaimana caranya menyembunyikan pikiran?”
”Kamu ingin tahu caranya?” Cobalah mencurinya dari pikiran kami.”
“Bagaimana cara mencuri pikiran kalian?”
“Caranya ada di dalam pikiran kami”.
Dru Dan Kisah Lima Kerajaan (Clara Ng)


Begitu turun dari angkot yang membawa kami ke pintu masuk Camp Bravo, saya langsung menelepon mang ucup sang pengurus camp.  “Mang kami udah sampe nih?” ujar saya.  Mang ucup berjanji segera menuju ke tempat kami.
Azzam memilih untuk ikut bersama mang ucup dengan menggunakan motor sementara saya dan istri berjalan kaki.
Setelah berjalan selama sekitar 20 menit melewati kebun, sawah dan rumah penduduk sampailah kami di lokasi camping camp bravo dengan disambut oleh hujan sedang.

Perjalanan menuju camp bravo camping ground yang terletak di Desa Cidahu ini kami tempuh dengan menggunakan kereta jurusan bogor-sukabumi dengan jadwal keberangkatan pukul 13.40 dan tiba di stasiun Cicurug sekitar pukul 14.40, lalu berlanjut menggunakan angkot.

Di hari Minggu ini tak ada tamu lain selain kami di camping ground yang terletak di Desa Cidahu ini, begitu penjelasan mang ucup yang berarti hanya akan ada satu tenda kami selama 3 hari disana. 
Ada beberapa pilihan lokasi untuk memasang tenda disana, dan kami memilih lokasi yang dibawah didekat sungai.
Sesampainya di bawah, hal yang kami lakukan adalah memasang tenda, agar barang-barang bawaan dapat segera kami bongkar, dan mengantisipasi turunnya hujan.

Mendirikan tenda bersama
 
Sore itu seperti sudah tak sabar, Azzam langsung bermain di sungai sementara saya menyiapkan minuman hangat dan pisang bakar sebagai cemilan sore hari sebelum nantinya menyantap makan malam kami.

“Ayo, bun kita mulai baca Dru nya”, ujar Azzam pada bundanya.  Berbaring di dalam tenda, Bunda pun mulai membacakan Dru untuk Azzam dengan diterangi oleh senter di kepala.

…“Cahaya merembes masuk di antara pori-pori kayu, memperlihatkan suasana yang magis.  Kesimpulan itu membuat Dru semakin bertanya-tanya.  Benarkah ia sedang merangkak di dalam batang pohon? Apa yang terjadi dengan dirinya?  Bagaimana ia bisa berada di dalam pokok kayu? Setinggi apakah pohon ini?”...
“Baca Dru nya udah dulu ya, zam?” ujar istri saya pada Azzam karena memang hari semakin larut dan waktunya untuk beristirahat.

Ditemani Dru, sebelum tidur (di dalam tenda)
 
Kopi untuk saya, teh manis kesukaan bunda dan susu manis pilihan azzam menemani pagi hari yang cerah.  “sarapan dulu ya, zam sebelum kamu main di sungai biar gak kedinginan” seru bunda saat saya sedang menyiapkan roti bakar untuk sarapan pagi ini.  Azzam pun menuruti.

Selamat pagi.... :)


Tampak beberapa orang yang sedang bermain di sungai dekat dimana tenda kami berada yang sudah kami pindahkan beberapa meter dari lokasi hari pertama.   Memang, pintu masuk menuju lokasi kemping di bawah camp bravo ini tidak ditutup oleh pengelola, sehingga terbuka bagi siapa saja yang ingin bermain di sungai.  Sedangkan bagi orang yang ingin ke air terjun, otomatis akan melewati tempat ini.  

Airnya dingin :)
 
Setelah menghabiskan sarapannya, azzam segera menyeburkan diri kedalam sungai.
Hammock yang sengaja kami bawa, segera kami ikatkan diantara 2 pohon sedang yang dekat dengan sungai.  Bunda asyik membaca Dru di dalam hammock, ditemani sejuknya udara dan suara aliran air sungai dibawahnya dimana azzam masih bermain disana.  Nikmat mana lagi yang kau dustakan! Hahaha….

Santai di hammock
 
Sebelum hari beranjak siang, kami naik ke lokasi bagian atas.  Dari sana, terlihat lahan kemping Batu Tapak Camping Ground, yang memang kedua lokasi ini di batasi oleh sebuah sungai.  Kami sendiri sudah beberapa kali kemping di batu tapak.  Selama kami kemping di batu tapak, kami sudah tahu keberasaan camp bravo ini, namun baru kali ini kami memutuskan untuk mencobanya.

Sambil berjemur matahari dengan pakaian yang masih basah, bunda membacakan Dru untuk azzam.  Mereka duduk diatas batu yang lumayan besar, dan kemudian berpindah ke bawah pohon seri yang cukup rindang.  Di lokasi atas ada beberapa fasilitas yang disiapkan oleh camp bravo, diantaranya flying fox, kolam ikan yang diatasnya ada bambu dimana orang bisa bermain gebuk bantal dan juga saung untuk berkumpul jika ada pengunjung yang membutuhkan tempat berkumpul.

Mang ucup sedang mengawasi 2 orang pekerja yang sedang merenovasi tempat menyimpan barang-nbarng mereka.  Kami sempat bercakap-cakap dengan mang ucup sebentar sebelum akhirnya kembali turun ke bawah.
Oiya, menurut mang ucup malam hari ada satu petugas yang berjaga dan mengawasi lokasi pada malam hari.  Dari atas sini terlihat hanya satu tenda saja di bawah, yaitu tenda kami.

Hingga sore hari kami habiskan dengan bermain-main di sungai, bermalas-malasan di dalam hammock hingga sore hari menjelang. Sebelum kayu bakar pesanan datang, saya membuatkan roti bakar coklat keju untuk kudapan sore itu, tak lupa ditemani kopi, the dan coklat hangat.

Enaaaakkkk....

Selepas maghrib hujan pun turun.  Di dalam tenda kami berharap agar hujan tak terlalu lebat dan lama, karena kami sudah merencanakan membuat api unggun.
Tak berapa lama, hujan berhenti dan kami memulai membakar kayu dan berada disekitar api unggun.  Belum habis semua kayu terbakar, hujan kembali turun hingga membuat kami terpaksa masuk ke dalam tenda.
Di dalam tenda kami bercakap-cakap dan kemudian bunda kembali melanjutkan membacakan Dru untuk azzam diantara suara hujan yang merdu didengar.

Waktunya api unggun-an bertiga

…..“Kerajaan apa ini ?” Akhirnya Dru menemukan suaranya lagi.  “Ditengah padang pasir sunyi seperti ini?”
“Ini adalah Kerajaan Logam”.  Tanti Pala mendesis dari mulutnya, yang terlijat selalu rapat.  Ia berutar mengelilingi Dru ketika berbicara.  “Dan ini bukan padang pasir, Nona Sok Tahu”.  Dru terdiam tak membantah.  “Ini adalah gumuk pasir”…

Bunda akhirnya menyudahi bacaannya untuk malam itu, karena memang malam sudah semakin larut.  Azzam tadi sempat memohon dan dikabulkan untuk menambah halaman bacaan dari yang sudah disepakati sebelumnya.

Pagi hari, tampak bekas api unggun dan sisa kayu yang masih utuh basah karena hujan tadi malam.  Hujan yang menemani kami ke peraduan hingga tengah malam.
Sambil menyeruput minuman hangat, saya mengolah pisang uli menjadi pisang bakar keju coklat untuk sarapan kami pagi itu.
Sarapan kami bawa ke seberang sungai menuju lokasi kemping yang paling ujung, menikmati gemericik air sungai dan dikelilingi oleh bunga-bunga terompet disekitar kami.
Kembali ke tenda, ada sekitar 6 orang anak yang sedang mandi di sungai.  Untuk menghabiskan bahan makanan yang kami bawa, saya menawarkan membuatkan roti bakar coklat keju untuk mereka.  Tanpa basa-basi, mereka pun menerima dengan senang hati.

Berbagi roti bakar
 
Mandi di sungai bertiga kami lakukan untuk membersihkan diri sebelum membereskan tenda dan barang-barang.  Hujan sempat kembali datang menemani makan siang kami.
Setelah hujan reda, kami naik ke atas untuk membayar biaya-biaya sekaligus pamit ke mang ucup.

Setelah sampai di jalan utama, saya menelepon angkot yang kemarin mengantarkan kami kesini untuk menjemput.  Kami memang sudah membuat janji 2 hari lalu.
Sambil menunggu angkot datang, bunda dan azzam memesan mie instant dan teh serta kembali melanjutkan membaca Dru.
“Nah, tuh angkotnya datang, yuk yuk” ujar saya.  Kami semua masuk ke dalam angkot yang akan mengantarkan kami ke stasiun kereta cicurug.  Sempat menunggu sekitar 1 jam, akhirnya kereta datang yang akan membawa kami sampai ke bogor, lalu kami lanjutkan tujuan menuju Depok untuk kembali pulang ke rumah… 

Masak apa dulu ya? 
 
Bunga terompet

Bermain di sungai

Taman Nasional Gunung Merbabu – Disapa Kabut Selo (FamilyGoesToNationalPark)

$
0
0



“Here we are! The wind, fog and rain had been incredible. We are having the time of our lives...”

Sempat terpikir dan berdiskusi untuk menjelajahi Taman Nasional Baluran sekaligus Taman Nasional Merubetiri dalam satu perjalanan, namun setelah mempertimbangkan beberapa hal, kami putuskan untuk tidak melakukannya dalam penjelajahan #FamilyGoesToNationalPark kali ini.

Membolak-balik buku Taman Nasional yang saya punya dan juga melihat-lihat di internet, Taman Nasional Gunung Merbabu menjadi putusan kami.
Selain browsing di internet, saya juga menanyakan tentang Gunung Merbabu ini lewat FB serta japri ke beberapa teman.  Gunung yang mempunyai ketinggian 3142 mdpl ini bisa didaki melalui 4 jalur yang menurut informasi setiap jalur memiliki pemandangan alam dan tingkat kesulitan yang berbeda.  3 jalur lainnya adalah Kopeng, Wekas dan Suwanting.
Jalur Selo adalah yang kami pilih setelah mendapatkan informasi yang kami rasa cukup dan seperti biasa, kami diskusikan bertiga tentang lama perjalanan, medan dan hal-hal lainnya. Selain itu, kita juga selalu mempersiapkan fisik untuk melakukan olahraga yang juga sekaligus refreshing ini.

Selesai menjemput Azzam pulang dari sekolah, kami langsung menuju bandara Soekarno-Hatta. 
Sempat molor sekitar setengah jam, akhirnya kami tiba di Bandara Adi Sucipto, Yogyakarta.  Mas dede, saya sudah diparkiran.  Itu pesan WA yang saya terima dari mas Gito.  Mas Gito adalah anak mantu dari Pak Parman, pemilik basecamp yang membantu kami dalam penjelajahan kali ini.

Satu orang teman, Sugi sudah tiba di Jogya sore tadi.  Sesuai janji dia menjumpai kami di bandara.  Segera kami berlima meluncur menuju Selo.
Tiba di basecamp Pak Parman sekitar pukul 11 malam, tampak ada beberapa orang pendaki yang sudah lebih dulu datang dari kami dan tampaknya mereka sudah lelap dalam tidurnya.
Basecamp Pak Parman bisa dikatakan adalah salah satu basecamp yang paling lama berdiri di jalur pendakian Selo.  Disanalah kami akan menginap malam harinya sebelum memulai pendakian keesokan paginya.

Sekitar pukul 7 pagi saya terbangun dan bertemu dengan Pak Parman yang memang tadi malam ketika kami tiba, beliau sudah tidur.  Sambil memperkenalkan diri, istri saya, Azzam dan juga Sugi, kami lalu memesan sarapan juga bekal untuk pendakian.
Setelah berpamitan ke Pak Parman dan istrinya, kami ber 4 beserta 2 orang porter yang akan menemani, mas Nang dan mas Agus berdoa bersama sebelum memasuki pintu masuk pendakian Taman Nasional Gunung Merbabu.

Siap Mendaki


Di perjalanan Azzam beberapa melantunkan nyayian yang saya sendiri belum pernah dengar sebelumnya.  Sesekali dia juga minta untuk berhenti, beristirahat.
“Paling kalo irama kita jalan begini, insya allah jam 12 kita sampai di Pos 2” ujar Mas Nang ketika saya tanyakan estimasi perjalanan ketika kami beristirahat di Pos 1.  Oiya, tadi kami memulai perjalanan dari bawah sekitar jam 9 pagi.

Jalan masih panjang :)

Beberapa meter sebelum memasuki Pos 2, “Mana raspberry nya?” ujar azzam setengah berteriak pada siapa saja yang ada disekitarnya.  Dia ingat pesan Pak Parman ketika masih di basecamp bahwa aka nada buah raspberry di Pos 2.  Mas Nang pun mengajak Azzam untuk memetik buah Raspberry yang membuat dia penasaran.
Meskipun rasanya sedikit asam, namun dia menghabiskan tak kurang dari 10 buah!


Istirahat di Pos 2

Meninggalkan Pos 2
 
Dengan bibir yang kebiru-biruan bekas menyantap raspberry, kamipun meninggalkan Pos 2.  Perjalanan berlanjut menuju Pos 3.  Ada tanjakan yang lumayan curam terakhir sebelum memasuki Pos 3.  “Ayo, Zam dikit lagi sampe nih”, ujar saya menyemangatinya dari atas.  Sambil menunggu Azam, istri saya dan Sugi, saya melihat sekeliling ada beberapa tenda didirikan disana.
“Udah makan mas?” tanya saya pada mas agus.  “udah mas” jawabnya yang sedang tidur-tiduran beralaskan matras. Sugi segera mengeluarkan trangia untuk memasak air, lalu membuatkan kopi dan teh.  Kami menyantap makan siang yang sudah kami bungkus tadi pagi di basecamp Pak Parman.


Tanjakan terakhir sebelum masuk Pos 3

Dari Pos 3 tampak bukit yang harus kami daki untuk mencapai Sabana 1 dimana kami berencana untuk mendirikan tenda malam nanti.  Selang 1 jam, setelah kami beres makan dan ngopi-ngopi, rombongan mas Juned memasuki Pos 3.  “wah, udah lama ya disini?” ujar mas Juned. 
Tak berapa lama kemudian kami ber 5 pamitan ke mas Juned cs untuk melanjutkan perjalanan.
Untuk menuju Sabana 1 dari Pos 3 dibutuhkan waktu sekitar 45 menit mendaki bukit yang lumayan menanjak jalannya.


Sabana 1 dilihat dari Pos 3
 
Ketika saya, istri dan Azzam tiba di Sabana 1, tampak mas Agus, mas Nang dan Sugi sedang memasang tenda.  Tampak ada beberapa tenda kelompok lain yang ada disana.  Jam masih menunjukkan pukul 3.30.  Kami pun segera berkeliling di sekitar Sabana 1, yang pemandangannya cukup cantik.

Keesokan paginya, sekitar jam 7 yang berniat untuk ke Puncak sudah bersiap-siap untuk berangkat setelah sarapan.  Azzam tidak berniat untuk ke Puncak yang berjarak sekitar 2 jam dari sabana 1.  “Kita disini aja ya, pak?” ujarnya. Jadilah saya menemani Azzam di sabana 1. Mas Nang akan menemani teman-teman yang ke puncak, sedangkan mas Agus akan bersama kami di sabana 1. 
Pagi yang dingin dan berkabut, tampak sedikit puncak Gunung Merapi dari depan tenda kami, namun tak berapa lama, Puncak Gn. Merapi tersebut tak tampak sama sekali, tertutup oleh kabut.
Saya dan Azzam hanya sampai di sabana 2.  Selanjutnya yang lain meneruskan perjalanan menuju puncak.  Angin yang bertiup cukup kencang menemani perjalanan saya dan Azzam kembali ke Sabana 1.


Menuju sabana 2.  Mengantarkan yang ingin ke puncak

Sekitar pukul 11, saya ditemani Wawan, anak dari Solo yang memasang tendanya dekat rombongan kami menuju Sabana 2.  Maksud saya untuk menjemput rombogan yang akan turun.  Namun tak begitu lama di kaki bukit Sabana 2, hujan kecil pun mulai turun.  Saya dan Wawan memutuskan untuk kembali ke tenda saja.
Menjelang tengah hari, satu persatu rombongan yang ke puncak sampai di sabana 1 ditemani kabut yang membuat jarak pandang hanya sekitar 10 meter saja.
Saya langsung membuatkan teh hangat untuk menyambut mereka, berlanjut dengan memasak makan siang.  Sekitar jam setengah dua siang, kami memutuskan untuk turun.


Menembus kabut
Setengah jam menuruni bukit dari Sabana 1 yang masih berkabut, dan bertemu dengan para pendaki yang baru naik hari sabtu itu ada salah seorang yang mengatakan kepada kami “di Pos 3 ada badai pasir”.  Tak lama kemudian ketika kami tiba di Pos 3 yang areanya cukup luas, namun dikarenakan kabut dan angin kencang, jarak pandang hanya sekitar 7 meter saja. 


Masih ditemani kabut
 
Tak berhenti di Pos 3, kami melanjutkan perjalanan dan hujapun makin besar.  Kami semua berhenti sebentar untuk memakai jas hujan.  Seperti biasa, saya selalu mengecek kondisi Azzam.  “Azzam kedinginan gak” tanya saya.  “Nggak pak” jawabnya.  “Itu bibir kamu kok biru?” spontan mata saya melihat ke bibirnya yang memang kebiru-biru an.  “kan ini bekas raspberry, pak” ujarnya setengah tertawa.  Wah iya ya, saya ingat ketika kami di tenda hal ini pun sudah kami bahas.
Jalanan yang licin dan menjadi jalur air, membuat kami harus ekstra berhati-hati.
Hingga kami tiba di basecamp, hujan tak kunjung reda.  


Diantara hujan dan kabut

Setibanya di basecamp, segera berganti pakaian lalu kami memesan soto dan teh manis untuk menghangatkan tubuh sebelum melanjutkan perjalanan menuju Kaliurang.
Menembus hujan malam itu, saya, istri, Azzam dan Sugi diantarkan oleh mas Gito ke Kaliurang.  Tiba di Kaliurang kami ke warung sate, setelah menyimpan barang-barang di hotel.
Malam itu juga mas Gito kembali ke basecamp di Selo.


Azzam dan Pak Parman


Basecamp Pak Parman


Keesokan paginya, sesuai dengan janji kami menuju kawasan Merapi dengan menggunakan Jeep Willys keluaran tahun 1942.
Berwisata di kawasan merapi, kami menyinggahi beberapa tempat.  Diantaranya museum merapi, batu alien, bunker dan berakhir di sungai dimana jeep akan berputar-putar menerjang air hingga membuat para penumpang berteriak kegirangan.


Di kawasan Merapi


Byuuurrrr.....

Selesai ber jeep ria, kami kembali ke hotel untuk bersiap-siap melanjutakan perjalanan ke Jogya.  Kami hanya mempunyai 3 jam sebelum harus check-in dibandara untuk kembali ke Jakarta.  Dengan waktu yang tak begitu lama, kami hanya menghabiskan waktu di kawasan Malioboro.
Jam 5 lebih sepuluh kamipun meninggalkan Malioboro menuju bandara, sementara Sugi masih akan menginap semalam disana sebelum kembali ke Jakarta esok harinya.

Menembus hujan yang membasahi Jogya dan sekitarnya malam itu, berarti juga kami harus mengakhiri perjalanan kami kali ini.

Taman Nasional Gn. Merbabu (Mt. Merbabu National Park) -FamilyGoesToNationalPark Episode -2 (Video)

$
0
0


Merupakan Episode ke 2 dari penjelajahan keluarga kami ke Taman Nasional, #FamilyGoesToNationalPark.

Taman Nasional Gn. Merbabu menjadi pilihan kami setelah mendiskusikannya dan mempertimbangkan beberapa hal.
Di perjalanan kami kali ini, ada satu orang teman, Sugi yang turut serta.  Sementara 3 orang teman lainnya dari Sidoarjo juga mendaki pada hari yang sama bersama kami.

Pendakian ke gunung yang mempunyai ketinggian 3142 mdpl ini, kami sempat ditemani angin kencang, hujan dan kabut yang cukup tebal.

Setelah mendaki Gunung Merbabu yang berada di Jawa Tengah ini, kami sempatkan mampir di Kaliurang untuk bermain jeep di kawasan Merapi sebelum menuju Kota Jogyakarta dan akhirnya kembali ke Jakarta.

Here we are! The wind, fog and rain had been incredible. We are having the time of our lives... 

Thanks for watching :) 

#FamilyGoesToNationalPark
#EigerAdventure

Taman Nasional Bali Barat Bagian 1 – Bertemu Uca dan Menanam Bakau di Hutan Mangrove (#FamilyGoesToNationalPark)

$
0
0



 
Bali, pulau yang menjadi pilihan kami untuk perjalanan #familygoestonationalpark kali ini.  Kebetulan ketika seperti biasa kami mendiskusikan rencana perjalanan, Azzam menyampaikan keinginannya untuk ke Bali.  Dari cerita yang pernah dengar cerita dari teman-teman nya yang sudah pernah berlibur ke Bali, membuat dirinya tertarik untuk mengunjungi Pulau Dewata tersebut.

Sesuai kesepakatan bersama mulailah saya mencari informasi tentang Taman Nasional Bali Barat (TNBB), yang memang karena posisinya terletak di Bali bagian barat.
Dengan luas mencapai 19.002 hektar ini areal perairannya hanya sekitar 3.415  dan selebihnya adalah merupakan areal daratan. Taman Nasional yang terdiri dari berbagai habitan hutan dan sabana ini juga merupakan tempat bagi sekitar 160 specieshewan dan tumbuhan yang dilindungi.   Taman Nasional ini merupakan tempat terakhir untuk menemukan satu-satunya endemik Bali yang hampir punah, Jalak Bali di habitat aslinya.

Berangkat dengan pesawat paling pagi dari Jakarta, akhirnya kami mendarat di Bandara Ngurah Rai sekitar pukul 07.30.  Dengan mobil yang sudah kami pesan sebelumnya, langsung melaju menuju Gilimanuk.  Ya, Taman Nasional yang lokasi nya dekat dengan Pelabuhan Gilimanuk ini kami tempuh selama sekitar 4,5 jam.
Jam sudah meunjukkan pukul 3 sore ketika kami memasuki halaman Kantor Balai Taman Nasional Bali Barat.  Turun dari mobil kami sempat celingak celinguk disekitar.  “Wah, kok gak ada orang ya?” ujar saya.  Namun tak berapa lama mucul seseorang yang menyapa kami.  Mas Iwan namanya.  Ia yang biasa ditugaskan oleh Balai ketika ada tamu yang ingin berkunjung ke TNBB.  Kami menyatakan maksud dan tujuan kami datang ke tempat itu.  Kamipun menyepakati itinerary selama kami disana.

“Kita kesana sekitar setengah jam lagi aja, soalnya sekarang air masih surut” saran Mas Iwan.  Kami sepakat  untuk mengeksplor hutan mangrove.  Dengan menumpang perahu sewaan, kami menelusuri kawasan hutan mangrove tersebut yang termasuk kawasan TNBB.

Memulai menelusuri hutan mangrove

Perahu melambat ketika kami mulai memasuki kanal.  Setelah perahu berhenti di suatu titik, kami segera turun dari perahu.  Tak begitu lama menginjakkan kaki dalam lumpur, kami segera kembali ke perahu karena hujan mulai turun.
Dalam penelusuran di hutan mangrove tersebut selain sempat melihat keberadaan kepiting uca, kepiting khas mangrove yang mempunyai 1 capit berukuran besar, Azzam juga sempat menanam beberapa tanaman bakau.  “Semoga tumbuh ya” ujarnya dengan senyum setelah selesai menanam.


Menyapa sang penghuni hutan mangrove

Menanam tanaman bakau (foto: NZ Anastasia)
 
Penelusuran di hutan mangrove kami lanjutkan dengan perahu dibawah siraman hujan.  Deru mesin perahu seakan berlomba dengan suara hujan.  Tampak ada beberapa burung penghuni hutan mangrove terbang yang sepertinya mencoba berteduh dengan mendarat di antara pohon-pohon.  Sebenarnya kami berencana untuk melihat kehidupan bangau liar di area hutan mangrove tersebut, namun terpaksa kami urungkan karena untuk menuju kesana ombak diperkirakan akan membersar dengan hujan yang deras dan angin bertiup lumayan kencang.

Selepas dari hutan mangrove, kami menuju salah satu hotel disana tempat kami menginap, Hotel Lestari.  Hotel ini lumayan bersih dan nyaman.  Berbeda dengan apa yang saya baca di internet. Pak Iwan sang pengelola bercerita tentang renovasi yang dilakukan pemilik baru hotel tersebut.  Ketika kami disana, memang masih terlihat beberapa pengerjaan yang masih dilakukan.
Setelah berbincang-bincang dengan pak Iwan, kamipun permisi untuk masuk ke kamar dan membersihkan diri sebelum beristirahat.


Kepiting Uca
 
Terima kasih Hutan mangrove :)


Taman Nasional Bali Barat Bagian 2 – Trekking di Hutan dan Snorkeling di Pulau Menjangan (#FamilyGoesToNationalPark)

$
0
0

Foto: NZ Anastasia


Keesokan paginya, mas Iwan datang menjemput kami di hotel pukul setengah delapan.  Dengan mobil kamipun meninggalkan hotel untuk menuju hutan.  Sekitar 10 menit perjalanan kami berhenti di pinggir jalan utama.  “Loh, kita mulai trekking nya dari sini mas” tanya saya pada mas Iwan dan Ia pun mengiyakan.  Tak lupa kami membeli air mineral untuk bekal trekking kami.

Sebelum memasuki hutan, mas Iwan menawarkan pada kami untuk mentemprotkan cairan anti nyamuk di beberapa bagian tubuh yang terbuka.  “Lumayan banyak nyamuk disini”ujarnya,  Kami pun mengikuti sarannya.
Kami berjalan diantara pepohonan yang tidak berukuran besar, karena  hutan ini termasuk tipe hutan hujan dataran rendah, yang letaknya di ketinngian 0 – 1000 meter diatas permukaan laut.


Hutan Hujan dataran rendah TNBB (Foto: NZ Anastasia)
 
Beberapa kami kami berhenti dan mencoba melihat jenis burung penghuni hutan tersebut.  2 jam trekking di hutan yang kontur naik turunnya tak begitu banyak akhirnya kami sampai di satu titik semacam punggungan yang terbuka.  Dari titik tersebut kami dapat melihat ke area hutan mangrove dan juga pelabuhan penyebrangan gilimanuk.
Tak begitu lama menikmati pemandangan dan sekalian melepas lelah disana, kamipun melanjutkan perjalanan menuju Sabana.


Mengamati burung (Foto: NZ Anastasia)
 
Pada awalnya Taman Nasional Bali Barat merupakan Suaka Margasatwa, namun akhirnya pada tahun 1984 ditetapkan sebagai Taman Nasional.
Pada dasarnya, Taman Nasional Bali Barat memiliki jenis ekosistem yang unik, yaitu perpaduan antara ekosistem darat dan ekosistem laut. Di kawasan ini, wisatawan dapat menjelajahi ekosistem daratan (hutan), mulai dari hutan musim, hutan hujan dataran rendah, savana, hingga hutan pantai. Sementara pada ekosistem perairan (laut), wisatawan dapat menyaksikan hijaunya hutan mangrove, keelokan pantai, ekosistem coral, padang lamun, serta perairan laut dangkal dan dalam.


Mengamati pemandangan sekitar
 
Tak begitu jauh dari Sabana, akhirnya kami keluar dipinggir jalan utama tak begitu jauh dari tempat awal kami masuk. 

Pulau Menjangan

Kantor Taman Nasional Wilayah III
 
Dari sana, kami langsung menuju Labuan Lalang.  Tiba disana kami dikenalkan pada petugas Taman Nasional oleh mas Iwan.  Setelah membayar biaya-biaya untuk masuk kawasan, sewa perahu dan peralatan snorkeling dan membeli bekal makan, kamipun menuju perahu yang sudah menunggu untuk membawa kami ke Pulau Menjangan.

Azzam kembali kegirangan menaiki perahu motor.  Kali ini perahunya lebih besar dari yang kami tumpangi ketika menelusuri area hutan mangrove. “Aku mau di depan”ujarnya sambil berjalan kearah ujung depan perahu.

Menuju Pulau Menjangan

Pulau Menjangan yang masih termasuk dalam kawasan Taman Nasional ini kami tempuh dalam waktu sekitar 40 menit dari Labuan Lalang.  Setiba disana, kami segera menyantap makanan yang sudah kami bungkus tadi sambil menunggu guide snorkeling yang masih melayani tamunya.

Tampak disana beberapa perahu yang bersandar, tentunya membawa para pengunjung yang akan melakukan snorkeling ataupun diving di kawasan ini.

Snorkeling

Snorkeling disana di hari yang cerah sangat membantu kami untuk menikmati keindahan bawah laut Pulau Menjangan.  Terumbu karang, ikan-ikan yang beragam jenis dan berwarna-warni membuat kami terkagum.  Pulau Menjagan sendiri sesungguhnya memiliki banyak spot snorkeling ataupun diving dengan kontur membentuk jurang dibawah laut (wall diving) dan coral garden.  Agak disayangkan kami tidak membawa kamera bawah laut untuk merekam keindahan tersebut.


Di gapura

Setelah snorkeling lumayan jauh dari dermaga, akhirnya kami harus kembali ke perahu untuk menyeberang kembali ke Labuan Lalang.
Ada sedikit kejadian yang menegangkan ketika kami akan bersandar.  Beberapa ratus meter dari pelabuhan, ombak mendera perahu lumayan kencang.  Dengan angina yang bertiup kencang, di dermaga tampak sekitar 6 orang yang sudah siap menyambut perahu yang kami tumpangi.


Meninggalkan Pulau Menjangan



Video - Taman Nasional Bali Barat (West Bali National Park) Episode - 04

$
0
0



Di penghujung Tahun 2016 kami melakukan perjalanan #familygoestonationalpark ke Taman Nasional Bali Barat.  Ini merupakan penjelajahan kami yang ke 04 dan semoga masih dapat terus melanjutkan ke Taman-taman Nasional lainnya :).

Di Bali, setelah menjelajah Taman Nasional Bali Barat, kami juga mengeksplor beberapa tempat lainnya di Bali.

#FamilyGoesToNationalPark
#EigerAdventure

Video - Exploring Sumba - Taman Nasional Matalawa #FamliyGoesToNationalPark Episode-5

$
0
0


Bulan Maret menjadi penjelajahan pertama #FamilyGoesToNationalPark kami di tahun 2017 sekaligus menjadi Episode yang ke 5.

Perjalanan kami kali ini ke Sumba, Nusa Tenggara Timur dalam rangka menjelajah Taman Nasional Manupeu Tanah Daru dan Laiwangi Wanggameti (TN Matalawa) juga melintasi Sumba Timur hingga Sumba Barat.

Kampung Raja Prailiu, Sumba

$
0
0
kain tenun karya masyarakat kampung raja prailiu

Berbekal informasi yang saya dapat dari seorang teman, Simon Onggo maka mulailah saya membuat perencanaan perjalanan ke Tanah Sumba.
Jadilah saya menelepon Kak Uman, anak dari Mama Margaretha istri dari raja Prailiu (almarhum).  Tujuan kami pertama-tama masuk di Tanah Sumba memang ke Kampung Raja Prailiu yang terletak di Sumba Timur.

Begitu turun dari mobil Kak Uman yang menjemput kami di bandara Umbe Mehang Kunda, Waingapu tampak Mama Eta, panggilan dari Mama Margaretha sudah menyambut kami di teras rumah.
Keramahan beliau tampk dari wajahnya, senyum tulus yang menyambut ‘tamu’ nya.  “Selamat Datang” ucapnya kepada kami bertiga. 
Saya juga sudah saling berbicara melalui telepon dengan mama Eta sebelum kami ke Sumba. 

bersama mama eta

Tak berapa lama, mama Eta memberikan pinang dan sirih kepada kami sebagai simbol keramahan penerimaan tamu. “Kalo tak kuat langsung dibuang saja” ujarnya melihat wajah-wajah kami yang sedang mengunyah pinang dan sirih tadi.  Saya menikmatinya, namun tidak dengan Azzam.  Karena ini kali pertama dia merasakan sirih dan memang rasanya yang khas, dia lantas cepat-cepat meludahkannya.

Percakapan semakin hangat, dari mulai sekedar soal perjalanan kami ke sini, orang-orang yang sudah pernah datang ke kampung raja, hingga ngobrol soal keluarga.  Namun kami terpaksa harus ke homestay Praikamarru untuk menyimpan barang-barang kami dan sekaligus menyegarkan diri.
Oiya, homestay Praikamarru ini dikelola oleh Sarah Hobgen, istri dari Kak Uman.  Saat kami kesana, baru satu homestay yang bisa ditempati, satunya lagi sedang dalam tahap akhir pengerjaan.


Mendengarkan cerita Kak Uman


Azzam bersama 2 orang cucu mama eta

homestay praikamarru

Sekitar jam 4 sore, kami bergegas meninggalkan homestay.  Tadi kami sudah berjanj akan pergi ke bukit wairinding.  Sebelum berangkat, kami bercakap-cakap dengan kak uman disekitar makam raja kampung prailiu.  Dia menceritakan tentang silsilah raj prailiu beserta arti dari symbol-simbol yang ada di makam.

Makam Raja Prailiu

Tak jauh dari kami berada, ada ibu-ibu warga sekitar yang memajang beberapa hasil karya mereka.  Diantaranya kain tenun sumba yang terkenal, kalung, gelang, anting-anting dan yang lainnya.  Biasanya mereka akan menawarkan hasi karyanya ketika ada tamu yang datang ke kampung prailiu.


Beberapa karya yang ditawarkan masyarakat

Hari menjelang sore, sesuai rencana kamipun segera menaiki mobil untuk pergi ke bukit wairinding yang terkenal.


Bukit Wairinding. Bukit Kapur Yang Mempesona

$
0
0
Bukit Wairinding

Di hari pertama kami di tanah Sumba tepatnya di Sumba Timur, kami sudah merencanakan untuk menghabiskan sore hari di bukit wairinding.

Dengan berkendara mobil selama sekitar setengah jam, sampailah kami di bukit wairinding yang menurut orang disana semakin terkenal setelah adanya film pendekar tongkat emas, yang mengambil lokasi ini sebagai salah satu spot syutingnya  disana.

Jalan aspal yang mulus dan berkelok-kelok kita lewati dari mulai pusat kota Waingapu hingga bukit wairinding.  Dengan menggunakan mobil, sekitar setengah jam perjalanan, sampailah kami di lokasi yang kami tuju.  Mobil diparkirakan dipinggir jalan raya lalu kami mulai mendaki perbukitan kapur di Sumba ini.  Tadi, sebelum sampai di tujuan kami sempat berhenti sejenak.  Om supir yang membawa kami, menunjukkan satu bukit yang  biasa disebut oleh orang lokal "sleeping giant" atau raksasa tidur.


Sleeping Giant

Begitu sampai puncak bukit, terhampar pemandangan yang memanjakan mata.  Lanskap wairinding yang berbukit-bukit dengan hamparan savana yang sangat luas.  Kami datang kesana di bulan april 2017, sehingga hamparan rumput masih berwarna hijau karena masih masuk dalam musim penghujan.  Namun jika kita datang pada musim kemarau yakni antara bulan juli hingga oktober, makan savana disana akan berwarna kuning kecoklatan.  2 warna dengan sensasi yang berbeda tentunya.


Berdua...

Saat kami sampai disana ada sekitar 6 orang yang sedang berfoto-foto mencari gaya dan background yang pas. 
Tak berapa lama, mungkin sudah mendapatkan foto yang diinginkan,  mereka pun meninggalkan bukit wairinding.  Tinggalllah kami bertiga, saya, istri dan anak menikmati pemandangan yang terus menerus mempesona kami selama disana.


Menikmati suguhan alam

Kemudian tak tau dari mana asalnya dan kapan datangnya, ada 2 anak perempuan kecil sudah ada disana.  Kamipun menghampiri mereka lalu bercakap-cakap dan tertawa bersama.  Ternyata mereka adalah salah satu  penduduk yang tinggal disekitar perbukitan wairinding.


Bersama anak-anak setempat

Matahari mulai membenamkan diri, dan awan pun tak lagi cerah.  Kami memutuskan untuk kembali ke kota Waingapu.



Pantai Di Sumba Timur, Puru kambera Dan Walakiri

$
0
0
Purukambera, Pantai Berpasir Putih Nan Lembut


Pantai berpasir putih lembut

Sejauh mata memandang tampak terlihat padang savana yang luas dan di beberapa bagian akn terlihat lautan yang membentang.  Kuda-kuda liar yang sedang merumput mencari makan, membuat kami berhenti beberapa kali dan turun dari mobil untuk mencoba mendekati mereka.  Cukup jauh jarak yang harus kita batasi dengan kuda-kuda itu, karena begitu kita sedikit mendekat, maka mereka akan berlari menjauh.


Kuda liar 

Saya dan Azzam akhirnya mengambil tempat di bak terbuka mobil.  Cuaca Sumba yang lumayan terik, tak begitu kami rasakan, terbayarkan oleh pemandangan sekitar, langit biru dan lukisan awan putih menggumpal.  Apalagi dengan berada di bak terbuka, hempasan angin sangat membantu mendinginkan.
Seperti itulah perjalanan kami menuju pantai purukambera di hari kedua di Sumba.

Deretan pohon cemara seolah menyambut kedatangan kami di pantai purukambera.  Ada satu rombongan keluarga yang sudah ada terlebih dahulu disana.  Tampaknya ada yang sedang memasak makanan dan beberapa lainnya bermain di pantai.  Kami membawa bekal untuk makan siang kami disana, karena memang tidak ada warung atau rumah makan di sekutar sana.


Berpose :)

Begitu turun dari mobil, Azzam membuka baju nya, sudah tak sabar ingin bermain dan menyeburkan diri di pantai yang pasirnya lembut dan berwarna putih ini.
Seolah belum puas bermain di pantai purukambera, Azzam pun berujar “Yaaahhh…kok kita udahan?” ketika saya mengajaknya untuk menyudahi tatkala dia masih asik bermain pasir.  “Kan tadi kita udah sepakat, gak terlalu lama disini, karena kita masih akan ke pantai lainnya” ujar saya mengingatkannya.
Dia pun akhirnya setuju mehyudahi kegiatannya setelah minta tambahan waktu sekitar 10 menit.

Di tengah jalan menuju pantai walakiri, kami sempat berhenti dan mendaki ke salah satu bukit yang menurut mata kami cukup menarik untuk didaki.


Bukit di puru kambera


Mangrove Menari Di Walakiri


Sunset yang mendung

Perjalanan pun berlanjut.  Pantai Walakiri menjadi tujuan kami selanjutnya.  Pantai ini menjadi cukup terkenal di dunia sosial media, dengan mangrove sebagai ikon nya, yang katanya bagaikan pohon menari. 

Tak berbeda dengan pantai purukambera, pasir di pantai ini pun berwarna putih.  Ketika kami sampai disana, air sedang surut, hingga tampak terbentang luas hamparan pasir putih yang menjorok beberapa puluh meter menuju lautan.
Kondisi di pantai walakiri saat itu cukup ramai oleh wisatawan lokal, dan beberapa dari mancanegara. 
Meskipun sudah ramai dikunjungi orang, tak tampak ada warung atau penjaja makanan/minuman di pantai ini.

Kami melihat orang-orang yang berada di pantai menunjuk-nunjuk kebawah, membungkukkan diri, berjalan seperti mengendap-endap, bahkan ada yang sambil duduk-duduk di pasir.  Ketika kami turun kesana, ternyata bintang laut yang jumlahnya sangat banyak menjadi keunikan tersendiri bagi orang-orang yang melihatnya.  Karena jumlahnya yang sangat banyak dan warnanya nyaris sama dengan pasir, maka orang-orang harus berhati-hati melangkah, menghindari agar tak hewan laut yang berbentuk seperti bintang itu tak terinjak.


Bintang laut

Nah, salah satu yang membuat orang-orang tertarik ke pantai ini adalah juga adalah pohon mangrove yang seperti sedang menari tadi.  Belasan orang sudah tampak berada disekitar mangrove untuk mengabadikannya lewat foto.  Begitu yang saya dengar.

Namun ketika hari semakin sore, awan dilangit mendung dan disusul dengan hujan.  Maka untuk mendapatkan foto mangrove dengan latar belakang sunset (matahari terbenam) pun musnah yang mungkin membuat beberapa orang kecewa karenanya.


Kami pun berlari kecil menuju mobil untuk menghindari agar tak basah kuyup oleh hujan dan memutuskan kembali ke prailiu.


Mengagumi bintang laut

Viewing all 46 articles
Browse latest View live