Quantcast
Channel: sukmadede
Viewing all 46 articles
Browse latest View live

Berlayar dan belajar ke Pulau Onrust

$
0
0
Layar Terkembang


Perjalanan kali ini agak sedikit berbeda.  Bukan dengan menggunakan perahu bermesin melainkan menggunakan Perahu Layar !
Hari masih pagi di Marina Batavia.  Dari sinilah perjalanan kami dimulai menuju salah satu pulau di Kepulauan Seribu.  Tidak seperti perahu-perahu lain yang biasanya berangkat dari Marina Ancol ataupun dari Pelabuhan Muara Angke.

Candola!  Begitu nama Perahu Layar yang akan membawa saya, Sugi sebagai jurumudi ditambah 2 orang ABK (Anak Buah Kapal) dalam mengarungi Teluk Jakarta.  Perahu layar yang kami tumpangi itu tinggi tiangnya sekitar 14 meter dengan panjang perahu sekitar 30 kaki dan dapat menampung maksimal hingga 6 orang penumpang.  Kecepatan maksimal yang dapat dicapai maksimun hingga 10 knot.
Untuk keluar dari dermaga perahu ini memang masih membutuhkan dorongan dari mesin.  Namun beberapa saat meninggalkan pelabuhan maka layarpun mulai dibentangkan dan mesin pun dimatikan.  Menggunakan perahu layar adalah dengan memanfaatkan hembusan angin sebagai tenaga penggeraknya.

Akhirnya setelah memakan waktu selama 2 jam lebih 15 menit, perahu pun berlabuh di Pulau Onrust.  Pulau yang menyimpan begitu banyak sejarah di masa lalu.
Pulau dengan luas sekitar 5 hektar ini dinamai dari seorang Belanda yang datang ke pulau ini ratusan tahun lalu, Cornelis Van Der Walck Onrust.
Pada waktu itu, VOC menguasai Batavia (Jakarta) sekitar tahun 1615, mereka membangun dermaga dan galangan kapal di pulau ini hingga akhirnya berubah fungsi menjadi benteng pertahanan pada tahun 1656.
Namun disekitar tahun awal 1800-an tempat ini berhasil dihancurkan oleh Armada Inggris yang memang menjadi musuh Belanda saat itu.  Pada tahun 1816 Inggris pun meninggalkan pulau ini.

Sebelum pulau ini dihancurkan, konon pada tahun 1777, James Cook pelaut Inggris yang menemukan Benua Australia pernah singgah di pulau ini selama 8 hari untuk memperbaiki kapalnya.  Para pelaut dan petualang Eropa yang singgah di Onrust mencatat dan membuat lukisan situasi di pulau ini.  Karya mereka pula lah yang kelak menjadi sumber sejarah Onrust.
Diambil dari catatan dan lukisan para pendahulu, ada fakta bahwa di awal abad ke-17 Pulau ini mempunyai peranan penting dalam pelayaran niaga internasional. Pulau ini menjadi tempat persinggahan dan penampungan sementara komoditi-komoditi Asia yang akan dikirim ke Eropa.

Seiring berjalan nya waktu, tepatnya pada tahun 1911 pulau ini berubah fungsi menjadi asrama karantina bagi orang yang akan berangkat menunaikan ibadah haji, sampai akhirnya pada tahun 1933 dipindahkan ke Pelabuhan Tanjung Priok.
Semasa Perang Dunia ke II, tahun 1942, Jepang pun sempat menjadikan tempat ini sebagai penjara. Tepatnya tempat mengadu para tahanan.

Reruntuhan bekas bangunan, pondasi, artefak, meriam, merupakan peninggalan yang masih menjadi saksi sejarah di pulau ini.
Selain reruntuhan bangunan sebagai saksi sejarah, disana masih terdapat juga pemakaman Belanda yang dari inskripsinya, sebagian besar meninggal di usia muda dikarenakan penyakit tropis.  Bahkan istri dari Onrust, Johanna Kalf dimakamkan di pulau ini pada tahun 1719.
Bahkan ada salah satu makam yang ditulis (pada plang) sebagai makam keramat.  Menjadi rahasia umum bahwa makam keramat ini diduga adalah makam Kartosuwiryo, salah seorang tokoh DI/TII.

Sesungguhnya disana terdapat museum  berikut dengan beberapa peninggalan-peningalannya yang masih tersisa.  Namun sangat disayangkan, kondisi museum sangat tidak terawat.
Pada tahun 1972 pemerintah DKI Jakarta menetapkan pulau ini sebagai Suaka Purbakala, dan menetapkan nya sebagai Cagar Budaya pada tahun 1999.

Setelah makan siang, perjalanan berlanjut ke Pulau Kelor yang ukurannya lebih kecil dari Pulau Onrust dan berjarak sekitar 20 menit menggunakan perahu.
Karena tidak bisa merapat hingga di pinggir pulau, perahu kami jangkarkan sekitar beberapa ratus meter dari pulau.  Dengan menggunakan Rubber Boat akhirnya kami sampai di pulau yang juga meninggalkan bekas benteng Belanda pada jamannya.

Tak berlama-lama di Pulau Kelor, maka kami pun kembali ke dermaga awal, hingga tiba pada saat matahari sudah terbenam.

Selain mendapatkan suatu pengalaman menarik dengan ber-Perahu Layar, perjalanan kali ini  sekaligus mendapatkan sedikit pengetahuan sejarah masa lalu yang terjadi di kedua pulau ini.

Quote: "Ambition leads me not only farther than any man has been before, but as far as I think it possible for man to go"  -James Cook (British Explorer. 1728-1779)



Candola

Memompa perahu karet untuk mencapai Pulau Kelor

Kembali ke Perahu Layar

Pulau Bersejarah

Sisa-sisa reruntuhan bangunan (P. Onrust)

Meriam (P.Onrust)

Bagian dalam Benteng (P.Kelor)

Benteng VOC (P. Kelor)


Mumi Sang Ksatria Dari Kurulu

$
0
0
(Mumi) Wim Motok Mabel



Tujuan Bangsa Mesir Kuno memufikasi jenazah adalah untuk mengumpulkan energi dari alam semesta, yang dipercaya akan memberikan kekuatan pada jenazah tersebut. Keyakinan mereka bahwa tubuh yang telah mati itu akan dipakai kembali saat hidup di alam keabadian.
Proses mumifikasi pada Bangsa Mesir adalah dengan cara diawetkan melalui proses pembalseman, yang kemudian tubuh jenazah dibebat kain kafan dengan posisi tangan menyilang di dada. Sebelum itu tentunya bagian dalam tubuhnya sudah dikeluarkan terlebih dahulu. 
Konon, satu tim peneliti Jerman menyatakan telah mengungkap rahasia pengawetan mumi Mesir kuno tersebut. Dari hasil penelitian, para ilmuwan itu berpendapat bahwa rahasia pengawet mumi mesir berasal dari suatu zat ekstrak pinus salju.

Suku Dani di Lembah Baliem, Wamena, Papua juga mempunyai tradisi mumifikasi yang dilakukan pada orang-orang tertentu saja.  Ada beberapa mumi yang dapat ditemukan di Lembah Baliem. Namun tidak semua dari mumi-mumi tersebut dapat dikunjungi atau dilihat oleh sembarang orang atau pengunjung yang datang. Hanya orang orang tertentu dan pada waktu-waktu tertentu saja yang dapat melihat mumi yang mempunyai nilai sakral tersebut.

Tepatnya di Sumpaima, Kampung Jiwika Distrik Kurulu ada satu mumi yang dapat dilihat pengunjung yang ingin menyaksikan salah satu tradisi turun temurun tersebut.
Mumi tersebut bernama Wim Motok Mabel yang berasal dari Suku Dani yang merupakan generasi ke tujuh.  Namanya berasal dari Wim berarti perang, Motok berarti panglima sedangkan Mabel adalah nama keluarganya.
Pada masa hidupnya, beliau adalah seorang kesatria dan pemimpin yang disegani oleh masyarakatnya, memimpin rakyatnya dengan bijaksana sekaligus memberikan rasa aman yang mungkin datang dari suku atau kelompok lain.

Mumi yang sudah berusia lebih dari 300 tahun ini, disimpan tersendiri di dalam pilamo (rumah bagi laki-laki).  Apabila ada pengunjung yang datang ingin melihat, mumi tersebut akan dikeluarkan dari honai nya.  Akhirnya saya pun berkesempatan untuk melihat langsung mumi salah satu Ksatria Suku Dani tersebut. Ketika melihatnya, saya mencoba membayangkan atau berimajinasi sesosok orang yang sangat dihargai dan menjadi panutan pada masa hidupnya. Terlihat sebuah onggokan tulang berlapis daging yang sudah menghitam, dengan posisi kaki yang menekuk kedada dan mulut terbuka.

Berbeda dengan apa yang dilakukan Bangsa Mesir Kuno, Suku Dani melakukan proses mumifikasi dengan cara pengasapan dan melumuri tubuh jenazah dengan minyak babi.
Dalam melakukan ritual ini, tetua adat kampung akan mengutus sepasang suami istri yang akan membangun honai (rumah) di tengah hutan untuk melakukan pengasapan yang akan memakan waktu sekitar 3 bulan.  Pengasapan yang dilakukan secara terus menerus hingga akhirnya membuat bagian kulit jenazah akan lumer dan daging pun akan menempel lekat pada tulangnya.  Didalam melakukan proses yang mempunyai nilai sakral ini ada hal-hal yang tidak boleh dilanggar bagi yang melakukannya.
Pasangan suami istri yang telah disucikan tadi, mempunyai pantangan yang tidak boleh dilanggar, yaitu selama membuat mumi pasangan ini tidak boleh melakukan dosa termasuk berhubungan intim yang biasa dilakukan suami istri, itulah syarat untuk menjaga ke sakralannya.

Setiap tahunnya masyarakat Kampung Jiwika selalu melakukan upacara untuk memperingati kisah hidup dan sang Ksatira Mabel. Disetiap upacara, akan dililitkan kalung yang terbuat dari kulit kayu pada lehernya dan dari jumlah kulit kayu tersebut bisa diketahui suadah berapa lama usia mumi tersebut.
Harapan para leluhur dan tetua dari upacara peringatan tersebut agar semangat dan tauladan Sang Ksatria tetap diteruskan oleh generasi penerus mereka.


Posisi mumi yang bertekuk

Di depan palimo penyimpanannya


Belajar Sekaligus Bermain di Jatim Park 1

$
0
0


Pintu Masuk




Terletak di tengah kota Batu, Malang yang berada di ketinggian 850 mdpl, Jawa Timur Park 1 menawarkan konsep perpaduan antara taman belajar dan rekreasi keluarga ditengah-tengah pemandangan indah dan kesejukan udaranya.

Begitu Memasuki pintu gerbang, terpajang sebuah gong berukuran raksasa, yang tercatat sebagai gong terbesar kedua di Indonesia. 
Dengan luas lahan sekitar 11 hektar ini, pengunjung yang datang sudah diarahkan melalui jalur-jalur yang sudah dirancang agar semua wahana tidak terlewatkan.
Dimulai dari museum kebudayaan dan sejarah Indonesia, museum flora dan fauna Indonesia, taman dan museum edukasi hingga akhirnya berlanjut pada wahana bermain anak dan juga untuk orang dewasa.

Taman Sejarah merupakan salah satu spot yang menarik dengan menampilkan diorama dalam bentuk miniatur untuk berbagai bangunan serta adegan masa silam. Seperti  miniatur aneka candi dan bangunan yang berdiri di Indonesia. Ada juga diorama aktivitas manusia purba di jaman pra sejarah hingga aktivitas masyarakat di masa perang kemerdekaan. Diorama dan miniatur ini ditempatkan dalam areal taman terbuka yang teduh sehingga sangat menyenangkan untuk mengelilingi taman dan menyaksikan bermacam-macam adegan masa silam dalam wujud mini ini.

Selain taman belajar dan wahana permainan tadi, sebelum pintu keluar pengunjung dapat menyaksikan beberapa jenis burung di rumah burung dan juga terdapat taman aquarium yang didalamnya ada beberapa jenis ikan maupun penyu.
Untuk tiket masuk sebesar Rp 50,000 (senin-jum’at) dan sebesar Rp 60,000 (sabtu, minggu dan hari libur).
Untuk harga tiket di Jatim Park 1 sudah termasuk tiket berbagai wahana bermain yang ada, kecuali untuk wahana tertentu seperti trampolin, go-kart,dll.
Namun diberlakukan juga tiket terusan bagi pengunjung yang ingin berkunjung ke 2 tempat sekaligus, Jatim Park 1 dan 2.

Untuk menjelajahi seluruh taman edukasi dan wahana permainan akan menghabiskan waktu seharian penuh.  Disamping jumlahnya yang banyak, juga akan terjadi antrian terutama pada musim liburan.  Water park/kolam renang adalah fasilitas yang dapat dinikmati bersamaan dan membuat pengunjung tahan berlama-lama.  Menurut informasi bahwa setiap tahunnya paling tidak ada 2 wahana baru yang dibangun untuk memikat pengunjung.


"Gong"
  
Silahkan berteriak sekeras mungkin

Bakar Batu

Adegan pertempuran pada masa Hindu-Budha

Water Park

Nonton Bioskop 3D

Hiu


Dari Fosil hingga Hewan Hidup di Jatim Park 2

$
0
0



Museum Satwa


Setelah berdirinya Jatim Park 1 pada tahun 2001, beberapa tahun kemudian dinbangunlah Jatim Park 2, yang hanya berjarak 10 menit berkendaraan.
Jatim Park 2 ini lebih mengarah kepada wisata edukatif, meskipun tetap ada wahana permainan didalamnya, namun tidak sebanyak yang ada di Jatim Park 1.

Di dalam Jatim Park 2 ada lokasi yang dapat dijelajahi, yaitu Musem Satwa, Batu Secret Zoo, ditambah Pohon Inn Hotel.  Sebuah hotel unik berbentuk seperti pohon sesungguhnya disediakan bagi pengunjung yang ingin menginap disekitar sana.

Setelah membeli tiket terusan, penjelajahan kami mulai dari Museum Satwa !  Bagian depan gedung yang menarik, berbentuk gaya Romawi dengan pilar-pilar yang tinggi dan ada 2 patung gajah berukuran besar berada masing-masing di samping gedung.
Dengan maksud untuk menghindari akan padatnya pengunjung, kami sengaja memilih hari Selasa di bulan April itu untuk mengunjungi Jatim Park 2.  Ternyata saat kami tiba disana, terlihat antrian yang panjang di pintu masuk.  Kebetulan pada hari itu ada rombongan besar dari beberapa sekolah yang berkunjung juga.  Setelah membeli tiket kamipun masuk dalam antrian tersebut.

Sungguh berbeda museum satwa ini dengan museum yang pernah saya kunjungi.  Di museum satwa ini memiliki bermacam-macam replica fosil, spesies hewan dari seluruh dunia.
Di tengah ruangan yang seperti aula terdapat fosil dinosaurus, seperti yang ada di film ‘Night at The Museum’.
Deskripsi dan penjelasan tentang binatang-binatang ini terpampang di setiap replika/fosil tadi.  Beberapa diletakkan didalam ruang berkaca. 
Letaknya pun tertata dengan rapih dan informatif.  Lokasi yang sesuai habitat atau jenis binatang, misalnya hewan prasejarah, laut, udara, liar, serangga, burung, reptil dan yang lainnya.  Ada beruang es dan singa afrika yang di set sesuai habitatnya.
Semua dipertunjukkan dengan penataan yang menarik.

Setelah berkeliling di museum satwa, penjelajahan berlanjut melihat hewan yang sebenarnya di Batu Secret Zoo.  Sebenarnya ini adalah kebun binatang dengan konsep modern. 
Disana kita bisa melihat aneka satwa dari berbagai penjuru dunia.  Hewan-hewan yang jarang atau belum pernah saya lihat sebelumnya ada disana.  Seperti tikus raksasa, Red Cuban Flamingo, Kangguru albino, Meerkat, Axolotl (jenis salamander), Hiu karang sirip hitam dan masih banyak lagi.

Disepanjang rute, terdapat beberapa cafeteria bagi pengunjung yang ingin makan atau minum dan untuk memudahkan pengunjung, tersedia beberapa peta rute yang cukup membantu.
Jika ingin berkeliling melihat-lihat dan tak perlu merasa capek, ada penyewaan alat transportasi yang berupa E-Bike (sepeda bertenaga baterai) dengan tariff Rp 100,000 – Rp 200,000 tergantung dari jenisnya.

Selain dapat melihat beraneka satwa, terdapat kolam renang dan juga beberapa jenis permainan untuk dinikmati di fantasy land.
Saran saya sediakanlah waktu seharian penuh ketika berkunjung ke tempat yang luas ini, karena begitu banyak yang dilihat, ditambah dengan beberapa permainan yang dapat dinikmati.
Dengan harga tiket Rp 60,000 (senin-jum’at) dan Rp 75,000 (sabtu, minggu dan hari libur) pengunjung dapat menjelajahi Museum Satwa dan Batu Secret Zoo ini dari mulai pukul 10.00 hingga pukul 18.00

Batu Secret Zoo

Pohon Inn Hotel

Dino






Pulau Perahu di Selatan Papua

$
0
0
Kole-Kole



Ilhas dos papuas (pulau rambut keriting).  Begitu sebutan yang diberikan Bangsa Portugis untuk Papua yang konon sebagai bangsa asing pertama yang menemukan Papua.
Namun Bangsa Belanda yang datang berikutnya menamakan nya dengan sebutan Nieuw Guinea, karena mengingatkan mereka pada penduduk suatu daerah di Afrika, yaitu Guinea.

Menurut salah seorang bapak (penduduk) yang becerita bahwa awalnya memang Bangsa Portugis lah yang menginjakkan kaki di Pulau Kekwa.  Penamaan pulau tersebut sepertinya muncul karena kesalahpahaman dalam komunikasi.  Karena ketika Bangsa Portugis mendarat di pantai pulau Kekwa, para penduduk menyapa nya dengan “Apakah tuan naik perahu ?”, Kekwa dalam bahasa Kamoro adalah perahu.  Karena tidak mengerti artinya, maka kata pertama dan diulang-ulang itulah kemudian dijadikan pendatang Portugis itu atas pulau ini.

Setelah perjalanan yang memakan waktu hampir 2 jam dengan menumpang jetty kecil dari pelabuhan Amamapare yang berjarak 30 km dari pusat kota Timika sampailah kami di Pulau Kekwa.
Sebelum mendarat di Pulau Kekwa, kami sempat singgah sebentar di 2 pulau kecil, yaitu Pulau Bidadari dan Pulau Puriri yang tidak berpenduduk.  Sedangkan di Pulau Kekwa sudah sejak lama dihuni oleh para penduduk yang berasal dari Suku Kamoro.

Seiring berjalannya waktu, pulau yang letaknya dibagian paling selatan Papua dan menghadap langsung ke laut lepas, yang akhirnya dijadikan titik pertahanan tentara sekutu pada jaman perang dunia ke II.  Sisa-sisa peninggalan meriam besi yang berkarat masih terlihat beberapa puluh meter dari lepas pantai.
Bahkan menurut Pak Matius, sekertaris kampung bahwa penduduk masih juga sering menemukan beberapa peninggalan lain berupa samurai, perkakas militer dan peralatan makan (piring, sendok) peninggalan tentara Jepang yang akhirnya meninggalkan Kekwa setelah peristiwa bom atom di Hiroshima dan Nagasaki menghancurkan negeri mereka.  “Mungkin kalo digali lebih dalam, di bagian dalam kampung akan masih ditemukan sisa-sisa peninggalan Jepang tersebut” ujar pak Matius menambahkan.
Pasir dan air laut telah mengubur peninggalan tersebut. bahkan menurut pak Matius, Gereja mereka yang tadinya semula berada di pinggir laut terpaksa dipindahkan ke dalam hutan, karena memang sudah dipindahkan beberapa kali.

Produk budaya asli yang kami di Pulau Kekwa adalah sampan mereka yang unik.  Satu batang pohon yang dikeruk bagian tengahnya, sangat sederhana.  Suku Kamoro menyebutnya ‘kole-kole’ atau ‘perahu sendok’.  Setiap laki-laki Suku Kamoro pasti bisa membuatnya dan butuh 3 hari untuk menyelesaikan pembuatan 1 perahu.
Hari semakin siang, dan kami pun meninggalkan Pulau Kekwa yang menyimpan sejarah didalamnya.  Lambaian tangan dan senyuman anak-anak Suku Kamoro turut mengantarkan kepergian kami hari itu.


Bagian dalam kampung

Pantai P. Kekwa

Meriam sisa peninggalan PD II







Extraordinary Wake Up Call in Lembah Harau

$
0
0





Setelah sarapan kami mengunjungi beberapa tempat disekitaran Bukittinggi, Taman Panorama, Lobang Jepang, dan Benteng Fort de knock sebelum melanjutkan perjalanan dengan tujuan utama, Lembah Harau.
Hamparan sawah terbentang luas di kiri dan kanan jalan saat melewati Jalan Raya Bukittingi -Payakumbuh.  Sebelum sampai di Lembah Harau, kami sempat mampir di Gua Ngalau Indah,  gua stalagmite dan stalaktit yang berada di lereng bukit. Akses masuknya tak begitu jauh dari jalan raya.
Jika langsung dari Bukit tinggi, perjalanan dari Bukittinggi ke Lembah Harau akan memakan waktu sekitar 1-1,5 jam.

Dengan kaca mobil sengaja dibuka dan membiarkan udara segar memasuki paru-paru kami mulai terlihat dari kejauhan kecantikan pemandangan Lembah Harau.  Dinding-dinding batu yang memerah kecoklatan seperti memagari lembah, hamparan sawah dan hijaunya pepohonan. Ketika semakin mendekati dinding batu, maka semakin terlihat guratan-guratan bak relief alami.  Batu-batu kekar itu diwarnai oleh waktu dan cuaca.  Dibagian tertentu dinding batu, ada tanaman yang tumbuh juga.  Ketinggian dinding batu ini mungkin hingga sekitar 200 meter.
Konon, sudah banyak pemanjat tebing yang memang sengaja datang ke tempat ini ingin merasakan dinding batu cadas yang curam dan lurus itu.

Sampailah kami di Echo Homestay yang memang sudah kami booking sebelumnya. Setelah check-in kamipun berkenalan berbincang-bincang dengan Pak Ade yang mengelola tempat ini.
Terdapat sekitar 20 kamar yang ber-desain eco-architecture di penginapan itu.  Dengan gaya ramah lingkungan, terlihat dari bangunannya yang 80% menggunakan bahan kayu, atap dari ijuk, kamar mandi yang tanpa penutup/atap dengan bagian atasnya ditanami tanaman, membuat kesan kita mandi di alam terbuka. Penginapan inipun menjadi daya tarik tersendiri bagi pengunjung yang menginap di Lembah Harau, terutama yang datang dari mancanegara.

Setelah menggali sedikit informasi tentang tempat ini dilanjutkan dengan makan siang, saya dan istri memutuskan untuk menyambangi air terjun atau disebut sarasah dalam bahasa setempat.
Melalui jalan yang berkelok-kelok memasuki hutan kecil dan celah dinding batu yang makin menyempit, akhirnya kita sampai ke air terjun pertama, dan berlanjut ke dua air terjun lainnya. Di ketiga air terjun tersebut, beberapa orang sudah ada disana menikmati dininnya air sebelum kami tiba.
Sore harinya kami kembali ke penginapan dan menikmati pemandangan senja Lembah Harau dari beranda cafeteria Echo.  Ditemani hangatnya kopi dan cemilan sore itu, tampak dinding batu Lembah Harau yang kekar semakin memerah warnanya.

Keesokan paginya, terjadi hal yang jarang kami alami atau belum pernah tepatnya di tempat penginapan lain yang pernah kami datangi.  Pagi itu kami dibangunkan oleh suara-suara dari Siamang yang bergelayutan dan saling bersahutan menyambut pagi ! Ibarat wake up call, tapi ini yang versi alam !
Dinding batu yang menjulang tinggi berjarak beberapa meter dari belakang kamar menjadi pembatas alami penginapan ini, dan dari bagian atasnya lah suara-suara Siamang tadi berasal.
Di tempat yang juga merupakan suaka margasatwa ini , selain Siamang ada juga monyet ekor panjang, harimau sumatera, berunag, tapir, kambing hutan, burung enggang dan beberapa jenis hewan lainnya.

Pagi hari itu, kami berangkat ke tempat yang berbeda arah dengan tempat yang kami datangi sehari sebelumnya.  Di Lembah Harau juga terdapat tempat wisata pemandian yang menjadi tempat bagi pengunjung baik lokal maupun yang datang dari luar daerah.  Di halaman bagian depan terlihat beberapa kendaraan sudah terpakir dan jajaran warung yang menawarkan makanan dan minuman.  Selain warung-warung tadi, ada juga masyarakat yang menjajakan aneka jenis tumbuhan lokal, seperti anggrek, kantung semar dan beberapa jenis lainnya. Menghabiskan waktu hingga siang hari disana, lalu kami melanjutkan perjalanan ke bagian bumi minang lainnya.

Kedatangan kami kali ini ke Lembah Harau, tak sempat untuk mencoba memanjat dinding batunya.  Mungkin nanti, di lain waktu !


Selamat Pagi :)

Penginapan berdesain Echo-architecture 

'Rumah Gadang' di Echo Homestay

Air Terjun (Sarasah) Bunta

Tidur Diatas Bambu Di Baturaden Adventure Forest

$
0
0




Jika menyebut nama Baturaden, mungkin dibenak sebagian besar orang pasti akan langsung tertuju pada Lokawisata Baturaden yang memang sudah terkenal sejak lama.
Bagi masyarakat Purwokerto dan sekitarnya, Baturaden ini layakmya seperti kawasan puncak bagi orang Jakarta dan Bogor. Kawasan ini terbentang di sebelah selatan kaki Gunung Slamet yang merupakan gunung berapi tertinggi ke 2 di tanah Jawa.  Letaknya yang berada pada ketinggian sekitar 640 meter diatas permukaan laut, membuat udara terasa sejuk dan dingin.

Setelah perjalanan selama kurang 6 jam akhirnya sampailah kami di stasiun Kereta Purwekerto dengan menumpang Kereta Purwojaya dari Gambir, Jakarta.  Dari stasiun kereta kami langsung menuju ke Baturaden, dan setelah 20 menit berkendaraan tampak pintu gerbang masuk ke Lokawisata Baturaden.  Namun bukan disini tujuan kami.
Sepuluh menit kemudian sampailah kami di pintu masuk Baturaden Adventure Forest ! Sejauh mata memandang, tampak hamparan hutan damar dan pinus yang menyejukkan mata.
Tempat yang dibuka dengan konsep ekowisata diakhir tahun 2009 ini terletak di lembah Sungai Pelus antara Taurus dan Objek Wisata Telaga Sunyi.

Bagi pengunjung yang datang ke tempat ini dapat melakukan beberapa kegiatan yang merupakan kombinasi keindahan alam dan petualangan, antara lain water adventure, canyon adventure, foresttrek adventure, biketrek adventure.
Untuk yang ingin menginap disana, tersedia beberapa pilihan bangungan yang terbuat dari bambu dengan maksud ramah lingkungan, selain itu pengunjung juga dapat merasakan tidur di tenda disertai perlengkapan tidurnya.  Tak usah khawatir dengan makanan, karena disana memang tersedia kantin yang siap melayani pengunjung.
Namun satu hal yang perlu diingat, ditempat ini tidak disediakan mie instant.  Sebagai salah satu upaya mereka dalam penerapan konsumsi makanan yang sehat.

Beberapa saat setelah menyantap ayam goreng, sayur asem dan tempe mendoan menu siang itu, kamipun menuju sungai yang tak begitu jauh dari kantin untuk segera bermain river boarding di aliran arus sungai Pelus.  Setelah menggunakan pengaman, seperti helm, kamipun meluncur diantara bebatuan dengan air yang dingin hingga berakhir di kolam alami yang bening.
Puas bermain air lanjut dengan berbilas, sudah tersedia teh, kopi dan pisang goreng  untuk menghangatkan tubuh.
Sore itu kami bercakap-cakap dengan Wiwid, salah satu karyawan ditempat ini.  Percakapan pun berkisar tentang misi didirikannya tempat ini, bagaimana mengelolanya, hingga kepersoalan lainnya.  
Tak terasa hari makin sore dan pemandangan didepan kami berubah.  Kabut tampak mulai menyelimuti kawasan kaki Gunung Slamet ini dan udara pun bertambah dingin.

Setelah makan malam, badanpun yang cukup lelah, ditambah dinginnya udara malam itu yang dalam keadaan hujan, rasa kantuk pun tak bisa dihindari.  Karena hujan yang cukup deras, membuat kami agak malas untuk menuju tenda yang sudah disiapkan untuk tidur.  Dengan beralas matras dan menggunakan sleeping bag, kami memutuskan untuk tidur di area kantin yan bentuknya panggung dari bambu.
Pada malam itu hanya kami bertiga, saya, istri dan anak yang menginap di tempat seluas sekitar 45 hektar tersebut, tentunya ada petugas keamanan yang bertugas jaga disana.

Pagi hari yang cerah, melewati sarapan dengan semangat kamipun segera meluncur ke air terjun yang dapat ditempuh selama sekitar 20 menit, lalu berlanjut ke air terjun lainnya. Sehabis mengeringkan badan, kegiatan berlanjut unutk mencoba beberapa permainan diatas/ketinggian atau disebut juga high rope (flying fox, elvis walk, cargonet), yang biasa dipakai untuk penunjang kegiatan outbound.

Hujan pun turun tak lama setelah kami puas bermain.  Ditengah hujan kami meninggalkan tempat ini dan menuju salah satu tujuan kuliner di Purwokerto, Soto Jalan Bank yang terkenal.
Kalau dilihat dari waktu tempuhnya, Baturaden ini dapat menjadi salah satu alternatif tujuan wisata bagi warga Jakarta yang biasanya berlibur ke daerah di Jawa Barat (Bandung, Lembang, Sukabumi).  Toh dari Jakarta jika mengendarai mobil ke Sukabumi bisa memakan waktu hingga 6 jam juga. So, tunggu apa lagi ?!


Bangunan Utama (Kantor, Kantin, Musholla) yg terbuat dari bambu

Salah satu penginapan di pinggir sungai
                         
Tenda. Pilihan untuk menginap

Water Sliding

Di kolam yang airnya bening dan dingin

Rumah Pohon

Trekking sehabis dari air terjun

Bermain di Ketinggian



Menjaga sejarah dan karya seni para leluhur Asei

$
0
0


Melukis Diatas Kulit Kayu



Jika Danau Toba punya Pulau Samosir, Danau Sentani punya Pulau Asei.  Danau terbesar di Papua ini terletak tak jauh dari Bandara Sentani, Jayapura dengan jarak tempuh sekitar 20 menit berkendaraan motor.

Siang itu, saat kami tiba di dermaga kecil di Danau Sentani, tampak serorang wanita paruh baya yang duduk di atas perahu motor nya dan menawarkan jasa untuk mengantarkan kami ke Pulau Asei.  Setelah menyepakati harga kami pun menaiki perahu tersebut dan dalam waktu sekitar 15 menit sampailah kami di Pulau Asei.

Begitu masuk ke pulau ini, tampak sebuah Tugu berbentuk salib yang menandai masuknya Injil di Kampung Asei pada tahun 1928 yang juga menandakan masuknya misionaris dalam menyebarkan ajaran Kristen. Terdapat sebuah gereja yang dibangun pada saat penyebaran agama disana dan masih digunakan masyarakat hingga kini.
Tak jauh dari Tugu tersebut juga terdapat kuburan tua yang diatasnya terdapat guci cina yang menandakan orang tersebut dahulunya berasal dari keluarga yang cukup berada.

Saat itu suasana kampung cuku sepi, karena memang kami berkunjung bukan di hari libur.  Sebagian masyarakat pulau ini mencari nafkah di luar pulau dan sebagian lainnya meneruskan tradisi turun-temurun dari sejak dahulu, yaitu membuat lukisan diatas kulit kayu disamping juga mencari ikan di danau. 
Mengelilingi sebagian pulau asei, kami bertemu dan juga bercakap-cakap dengan beberapa penduduk yang sedang melukis maupun yang menawarkan hasil lukisan yang di pamerkan di teras depan rumah mereka.

Ray, salah seorang pemuda yang kami temui sedang melakukan keahliannya menyapu kuas diatas lembaran kulit kayu yang sudah dikeringkan dan sebelumnya sudah di sketsa dengan pensil. Keahlian Ray dalam melukis diajarkan  oleh dari ayahnya, yang mendapatkan keahlian itu dari kakeknya.  Begitulah keahlian itu secara turun-temurun diteruskan hingga seperti menjadi warisan.
“Dulu, kulit kayu Khombouw ini dipakai sebagai penutup tubuh atau pakaian oleh masyarakat pulau asei”, kata Ray menambahkan.

Proses lukisan kulit kayu itu sendiri dimulai dari mengambil batang pohon, mengelupas kulitnya lalu ut direndam/dilunakkan, dipukul-pukul dengan besi diatas batu hingga menjadi seperti lembaran kanvas, dikeringkan/dijemur, dan kulit kayu pun siap untuk dilukis.
Untuk bahan kulit kayu nya, masyarakat Pulau Asei hanya mengambil nya dari jenis pohon khusus yang disebut  Pohon Khombouw.

Setelah men-sketsa dengan pensil, untuk menjaga keaslian dari lukisan kulit tersebut, masyarakat Pulau Asei tidak menggunakan pewarna dari bahan kimia, melainkan dengan pewarnaan alami.  Kapur sirih digunakan untuk warna putihnya, arang untuk warna hitamnya, dan tanah merah untuk warna merahnya. Namun ada juga beberapa pengrajin yang sudah menggunakan cat sebagai bahan pewarnanya.

Motif lukisan Pulau Asei sangat khas dan menggambarkan keseharian hidup penduduk maupun budaya yang tinggal di sekitar Danau Sentani.  Seperti Ikan, buaya, alam, filosofi hidup hingga mitos yang pernah hidup disana. 

Satu lukisan yang telah jadi, dihargai mulai dari Rp 20,000 hingga ratusan ribu rupaih.  Kini, lukisan kulit kayu pulau asei ini dapat dengan mudah kita jumpai disetiap hotel yang ada di Jayapura sebagai bagian dari dekorasi hotel.  Hasil karya seni ini juga menjadi cinderamata yang dibeli bagi para pengunjung yang datang ke Jayapura.


Tugu Salib

Kulit Kayu Yang Dipukul besi

Menjemur Kulit Kayu Yang Sudah Di Lukis

Menjajakan Lukisan

Penombak Ikan Di Danau Sentani


Apa itu Traveling ?

$
0
0


Travel more :)


Belakangan ini memang tak dapat dipungkiri travellingmenjadi begitu mem-booming di Indonesia.  Semua orang ingin pergi ke suatu tempat menarik yang belum pernah dia kunjungi atau mendatangi atas referensi dari orang lain. Mereka hanya ingin menikmati, melihat keindahan alamnya atau sekedar bersenang-senang. Apa salahnya dengan itu semua ? Tak ada yang dapat menyalahkan.  Masing-masing orangpasti punya alasan mengapa dia traveling. Bebas aja, selagi bukan sesuatu yang negatif. Siapapun tak dapat membatasi orang lain untuk berpergian ke suatu tempat, kecuali memang tempat-tempat yang memang perlu mendapatkan izin untuk memasukinya.

"Travel broadens the mind, raises spirit". Berpergian itu memperluas wawasan, mengasah jiwa. Semestinya semangat dari kalimat bijak itu dapat kita rasakan keabsahannya begitu kita kembali dari berpergian.

Mungkin dulu pada awalnya manusia hanya menyadari bahwa dunia hanya sebatas kampung yang mereka diami saja, sungai atau laut yang yang berada di dekat pemukiman mereka, hutan tempat berburu untuk makan ataupun ladang/kebun yang mereka garap. Seiring waktu dengan bertambah sesaknya manusia maka mulailah kelompok, klan, suku  melewati batas lingkungannya memulai suatu yang baru, yaitu pengembaraan.

Alasan yang paling masuk akal kala itu, tentulah untuk mencari tempat yang lebih menjajikan untuk hidup.  Membuat mereka harus menyebrangi lautan, padang pasir, perbukitan dan gunung-gunung hingga mereka menemukan apa yang mereka cari.
Orang-orang seperti Ibnu Batutta, Marcopolo, Colombus, James Cook dan dilanjutkan oleh pengembara-pengembara lainnya membuka pintu ke belahan bumi lainnya (kata lain untuk menyeberangi lintas benua).

Tak dapat dipungkiri dari para pengembara terdahulu itulah akhirnya kita sebagai manusia penerus menjadi tahu ada tempat-temat lain dimuka bumi ini.  Dari mereka-mereka yang mencatat perjalanan, menggambarnya diatas kertas, hingga menjadi sebuah benda yang dinamakan peta. Betapa dahsyat dan agungnya sebuah peta. Dengan pengetahuan itu maka tersadarlah kita bahwa betapa bumi ini begitu luasnya.

Perjalanan atau traveling itu akan jauh lebih bermakna dari sekedar menikmati keindahan alam suatu tempat. Bagaimana kita memandang kehidupan atau cara hidup orang lain. Menghargainya, mempelajarinya dan bahkan mencoba untuk beradaptasi dengannya, walaupun dengan segala keterbatasan waktu yang ada. Karena pada kenyataannya kita adalah makhluk sosial.  Sudah semestinya, orang yang berstatus sebagai ‘tamu’ untuk dapat menyatu dengan baik itu alam maupun dengan manusia nya.
 
Bagi saya pribadi, selain menikmati keindahan alam banyak nilai-nilai yang dapat saya pelajari selama berpergian, terutama selain traveling sendiri atau bersama teman, saat ini saya sering travelingbersama istri dan anak saya.    Disinilah nilai edukasi dari sebuah perjalanan dapat kami berikan sekaligus dipelajari langsung oleh anak kami.  Bagaimana mengenalkan alam dan lingkungan padanya, Menambah pengetahuan & pemahamannya tentang alam. Dengan beragam flora dan fauna yang belum pernah dilihat sebelumnya tentu saja akan lebih memperkaya wawasannya.
Merangsang anak menjadi lebih responsif terhadap lingkungan sekitar sehingga anak lebih berempati. Saat melakukan berbagai aktifitas outdoor, otomatis seluruh bagian tubuh akan bergerak dapat melatih kecerdasan motoriknya.

Dari beberapa pengakuan orang tua kepada saya, banyak orang tua yang tidak ingin kehilangan masa kebersamaan bersama anak/keluarganya, apalagi dimasa sebelum anak beranjak remaja. Namun dengan segala kesibukan dan tuntutan, mereka mengakui sulit untuk mencari waktu yang ‘tepat’.
Pada dasarnya, para orang tua tersebut sangat tidak ingin kehilangan waktu yang mungkin sangat singkat itu.  Karena mereka menyadari bahwa dimasa sekarang ini, tak dapat dipungkiri bahwa ketika anak beranjak remaja, anak akan agak sulit untuk diajak pergi bersama orang tuanya.  Besar kemungkinan mereka sudah akan lebih memilh untuk pergi bersama teman-teman sebayanya.  Bahkan beberapa anak remaja malah merasa malu jika pergi bersama keluarganya.
“berapa lama sih anak saya mau bareng jalan-jalan bareng orang tua nya, sebelum mereka menemukan teman-teman jalan nya sendiri ?” begitu kira-kira pernyataan orang tua.

Dimasa sekarang ini, dimana ada sebagian orang tua yang agak sulit untuk mendapatkan kebersamaan dengan anaknya, dengan melakukan kegiatan traveling bersama-sama, dapat meningkatkan kebersamaan dan kekompakan keluarga. Karena pada umumnya dalam kegiatan outdoor/ alam bebas orangtua akan melibatkan diri terhadap aktifitas anak. Disinilah seluruh keluarga yang mengikuti kegiatan akan menemukan quality time.

Ajaklah anak mendiskusikan tempat dan kegiatan yang akan didatangi. Menurut saya, jika kita biasakan si anak berkegiatan bersama orang tua dan melakukan kegiatan yang mengasyikan bagi seluruh keluarga, mudah-mudahan selalu dapat terjaga hingga mereka dewasa, walaupun mungkin tidak sesering seperti saat mereka masih kecil. Tidak ada salahnya jika kita mencoba nya. Paling tidak itu yang saya harapkan.
Kami sendiri sudah mulai mengajak anak berkegiatan di alam bebas saat dia berusia 15 bulan, dan hingga kini dia menikmatinya.

Dalam melakukan perjalanan, terutama dalam hal kegiatan di alam bebas, anak akan mencoba hal-hal baru yang belum pernah dia lakukan sebelumnya.  Pengalaman baru akan membuat anak beradaptasi dengan lingkungan.  Mendiskusikan pada anak kami hal-hal yang boleh / tidak boleh dia lakukan termasuk alasan dan akibatnya. Keamanan menjadi faktor penting dalam melakukan kegiatan bersama anak.

Tentu saja selama ini kami sudah merasakan dan melihat dampak positif dari kegiatan-kegiatan yang dilakukan terhadap kehidupan atau tingkah laku anak kami sehari-hari.  Dalam hal kepercayaan diri, pengambilan keputusan, keberanian juga mengemukakan hal-hal yang dia pikirkan.

Tapi bagi saya, dalam traveling tiap orang punya cara, gaya dan tujuan nya masing-masing. Ada yang ingin bersenang-senang, melepas penat, menikmati keindahan alam, mencari sesuatu yang baru, lebih mengenal dan mencintai, sebagai bentuk edukasi, dll.  Bahkan ketika ditanya tujuannya ada yang hanya menjawab dengan"I just love it'.  Bagi saya, lakukan saja selama itu sesuatu yang positif.


“Now I see the secret of making the best person: it is to grow in the open air and to eat and sleep with the earth.”  -Walt Whitman

 

Arung Jeram

 

Sejarah letusan Gn. Gede (foto oleh. NZ Anastasia)

 

Di Kampung Naga

 

Makan di (warung) lautan pasir Bromo

 

Diantara para porter (foto oleh. NZ Anastasia)

 

Papandayan, Disaat Tuhan Tersenyum

$
0
0


Tegal Alun dengan kebun Edelweiss nya


Antrian panjang kendaraan yang memenuhi jalan tol cipularang dinihari itu akhirnya membawa kami sampai ke Kota Garut dalam waktu sekitar sembilan jam saja.  Memang, hal tersebut lumrah terjadi disaat lburan panjang (3 hari) diujung weekend Maret ini.
Setelah sarapan yang agak kesiangan sekitar jam 9 pagi, perjalanan berlanjut menuju Kecamatan Cisurupan sebagai pintu masuk untuk mencapai tujuan kami, Gn. Papandayan.  Setelah mengurus segala keperluan termasuk izin masuk dan menginap dikawasan, hujan rintik-rintik mengiringi keberangktan rombongan kami yang terdiri dari 5 orang dewasa dan 6 orang anak dengan ditemani oleh 3 orang porter.  Namun tak berapa lama hujanpun berhenti.

Sekitar 15 menit berjalan, aroma belerangpun mulai tercium.  Luar biasa ! Gn. Papandayan memiliki kawah yang jumlahnya belasan.  Tampak disana-sini kepulan asap yang keluar dari mulut kawah, baik yang berukuran besar maupun yang kecil.  Aroma belerang yang keluar tak begitu menyengat, karena terbawa hembusan angin yang lumayan kencang.

Setelah kurang lebih 1 jam setengah trekking, sampailah kami di ‘Hutan Mati’. Lagi-lagi, suguhan pemandangan eksotis di depan mata.  Pohon-pohon yang masih berdiri, namun sudah tak ditumbuhi daun lagi tampak bak lukisan maestro.  Sebenarnya Hutan Mati ini terjadi akibat terjadinya kejasian alam, yaitu erupsi pada tahun 2002.  Ini juga menjadi saksi betapa dahsyatnya letusan yang terjadi pada saat itu.  Tampak dari kejauhan, bukit laksana bersalju karena putihnya tanah disana.
Perjalanan ini tak terasa melelahkan bagi anak-anak.  Disepanjang jalan, mereka kerap bertanya tentang kawah, hutan mati dan hal-hal lainnya.

Waktupun berjalan, dan akhirnya dalam waktu kurang lebih 2 jam sampailah kami di tempat camping, Pondok Saladah di ketinggian 2288 mdpl.  Ketika kami memasuki area Pondok Saladah, keadaan disana cukup ramai dengan puluhan tenda yang sudah berdiri. Berpasang-pasang mata tertuju pada rombongan kami, mungkin karena adanya 6 krucil yang datang.
Setelah menditrikan tenda, para orang tua lanjut menyiapkan makanan sementara itu anak-anak asik bermain sebelum santap malam dan beristirahat.

Keesokan paginya, setelah sarapan kami bersiap-siap trekking menuju Tegal Alun.  Anak-anak begitu bersemangatnya. Kami kembali melewati hutan mati untuk menuju Tegal Alun. Ada persimpangan dimana pemisah antara kembali ke arah pulang dan yang menuju ke Tegal Alun.  Trek nya relatif sedang, namun ada sedikit jalur yang tanjakannya lumayan curam, disebut tanjakan mamang.  Sekitar satu setengah jam akhirnya sampailah kami di Tegal Alun.  Dengan luas sekitar 32 Ha, terpampang pemandangan luas taman edelweiss yang di bulan Maret ini belum saatnya mekar. 
Tempat ini menjadi salah satu tempat favorit orang untuk berfoto-foto dengan pemandangannya yang memang menakjubkan.  Setelah beberapa lama duduk, bermain-main dan mengambil foto kamipun turun kembali ke Pondok Saladah untuk bersiap pulang dan kembali ke Jakarta.

Dari yang telah kami lewati dalam 2 hari ini, secara trek dan jarak tempuh, Gunung Papandayan ini memang cukup ‘bersahabat’ untuk anak-anak selain pengetahuan tambahan yang bisa mereka dapatkan.  Tersembul niat untuk kembali lagi mengunjungi Gn. Papandayan yang menakjubkan ini, seperti kami mengunjungi Gn. Gede berkali-kali.

“Tuhan sedang tersenyum saat menciptakan Garut”, kata seorang teman kepada saya suatu kali.  Ternyata itu suatu peng-analogian yang bukan sekedar omong kosong. Terbukti di dalam perjalanan dari Kota Garut hingga perjalanan mendaki Gn. Papandayan kita akan disuguhkan beraneka ragam pemadangan yang memang terbukti indah.


Kepulan asap dari kawah

 
Bersiap trekking ke Tegal Alun :)

 
Semangat Pagi ! :))

 
Di Hutan Mati
 
 
Yeeaayyy....We did it ! (di kawah. perjalanan kembali turun)


High Jump !



"Children are great imitators. So give them something great to imitate"

Jogjakarta, Give Us Five !

$
0
0


Welcome To Jogyakarta


Hujan gerimis di awal tahun ini, menyambut kami setibanya di kota yang biasa disebut kota budaya atau kota pelajar, Jogjakarta. Hari ke 3 di tahun baru, ternyata banyak pelancong yang masih betah disana.  Ini ditandai dengan kesulitan yang kami dapatkan ketika mencari penginapan. Satu persatu penginapan di Jl. Dagen kami datangi, penuh.  Akhirnya kami berjodoh di salah satu hotel di Gg. Sosrokusuman, yaitu Hotel Puri.
Hotel yang letaknya cukup strategis ini (di belakang Malioboro Mall) terlihat nyaman dan bersih dengan harga kamar yang lumayan murah. Menurut cerita si pemilik hotel ini adalah salah satu dari 2 hotel tertua di kawasan Malioboro yang masih berdiri dengan bangunan asli.
Malam harinya kami habiskan berjalan-jalan dan makan di lesehan di sekitar Malioboro.  Suasana jalanan Malioboro malam itu sangat ramai sekali dan kemacetan pun tak terhindarkan.

Hari-hari berikutnya kami habiskan untuk mengunjungi beberapa spot wisata di Jogjakarta dan sekitarnya. Hujan yang turun setiap hari di Yogya saat itu tak menghalangi niat kami untuk mengeksplor kota Gudeg ini selama 5 hari.
Gunung Api Purba, Candi Prambanan, Candi Boko, Alun-alun Timur, Keraton, Air Terjun Sri Gethuk, Pantai Parangtritis dan Pantai Indrayanti hingga bertubing di Gua Pindul kami datangi.

Gunung Nglanggeran atau biasa disebut Gunung Api Purba merupakan salah satu kawasan alam yang litologinya disusun materi vulkanik tua tinggi. Berdasarkan penelitian, gunung api ini merupakan gunung berapi aktif  sekitar 60 juta tahun lalu. Banyak batu berukuran raksasa yang membuat takjub disana yang menurut cerita warga sekitar, tak jarang tempat ini dijadikan sebagai tempat pertapaan.  Perjalanan yang sedikit menguras tenaga akan terbayarkan ketika kita sampai di bagian atas dan melihat pemandangan sekeliling.


Di celah batu menuju puncak


Memanjat Batu

Selain melihat langsung kemegahan kompleks candi hindu terbesar di Indonesia yang dibangun pada abad ke-9 masehi, yaitu Candi Prambanan. Candi yang diperkirakan tempat persemayaman raja-raja ini dikenal sebagai salah satu ikon kebudayaan Indonesia. Walaupun hingga saat ini belum dapat dipastikan siapa yang memerintahkan untuk membangunnya. Perjalananan berlanjut ke Candi Boko yang berjarak sekitar 2 km dari Prambanan.  Candi dengan luas sekitar 250.000 meter persegi ini, menurut para ahli bangunannya berbentuk perpaduan antara unsur-unsur Hindu dan Budha.
Jika berdiri di area Plaza Andrawina, salah satu bagian dari candi ini pengunjung akan dapat melihat pemandangan Kota Jogyakarta dan Candi Prambanan dengan Gunung Merapi sebagai latar belakangnya.

Kompleks Candi Prambanan

 
Paseban di Candi Boko

Agak kurang sah sepertinya, jika ke Yogyakarta tidak sowan ke Keraton Kesultanan Jogjakarta.  Selesai menyisir pasar tradisional di Malioboro, Beringharjo maka kami langkahkan kaki menuju Keraton dengan menumpang becak. Setelah selesai mengagumi keindahan keratin dengan segala budayanya, kami menikmati waktu malam di Alun-alun utara dan merasakan beberapa permainan klasik yang memang sudah lama tidakdilakoni bahkan dilihat.  Seperti Kincir Angin atau ‘Tong Stand’, entah kapan terkahir kalinya saya menonton pertunjukan ini. Entah !

1928

 
Didepan Alun-alun Utara

Pertunjukan Tong Stand

Kincir Angin

Gua pindul, gua dengan aliran sungai bawah tanah kami telusuri selama sekitar 45 menit.  Dengan menggunakan ban dalam yang dipompa, menyusuri gua sepanjang sekitar 300 meter itu merupakan pengalaman yang berbeda.  Susunan skalaktit dan stalakmit yang tak beraturan, sampai dengan sarang burung walet.
Di ujung gua tempat keluar, ada bagian atas yang terbuka membuat matahari bebas menerjang dengan sinarnya.

Stalaktit di Gua Pindul

Siapa yang tak kenal Pantai Parangtritis ? kesana pula kami berkunjung.  Suasana sangat ramai dengan pengunjung yang berenang dibagian pinggir, bermain-dengan ombak yang menyapu kepinggir pantai atau sebagian lagi duduk bersantai menikmati pemandangan laut dengan jagung bakar ditangan.  Beberapa fasilitas yang tak kami lewatkan disana adalah ATV, berkuda dan naik delman.  Suasana yang beda saat tiba dikawasanpantai-pantai Gunung Kidul, hujan deras turun tak henti-hentinya.  Dikarenakan ombak yang masih tinggi di bulan Januari, maka para pengunjung tidak diperbolehkan mendekat kearah laut, dengan alasan keselamatan. 

Delman di Parangtritis

 
Paralayang di Parangtritis

Salah satu kendala yang mungkin masih terasa dalam urusan transportasi adalah, masih kurangnya angkutan umum yang dapat mengantarkan pengunjung untuk mendatangi ke tempat-tempat wisata yang letaknya lumayan jauh dari pusat kota Jojya.
Tak ingin kehabisan waktu dan demi efisiensi, kamipun menyewa sepeda motor selama berkeliling disana.
Jogjakarta, masih menjadi salah satu primadona bagi wisatawan khususnya domestik dengan segala keramahan dan keunikannya. 

Bertemu lagi di Pangandaran

$
0
0



Sampai di Pangandaran...langsung ke pantai :)


Setelah menentukan menentukan suatu tempat wisata yang akan dikunjungi, maka budget, jarak, waktu, transportasi, dan fasilitas menjadi hal-hal yang menjadi patut dipertimbangkan selanjutnya.

Akhirnya Pangandaran menjadi tujuan kami di bulan Juni ini yang bertepatan juga dengan liburan sekolah yang berarti liburan panjang. Setahun kurang satu bulan yang lalu kali terakhir kami ke temat ini.
Bedanya, jika tahun lalu Pangandaran menjadi rute tujuan akhir liburan keluarga kami setelah Cipanas -Garut, Kp. Naga, kali ini kami langsung menuju Pangandaran dan menghabiskan waktu selama 4 hari disana.  Tak bosan-bosan bermain di pantai; bermain body board, bermain pasir di Pantai Barat diselingi dengan mengunjungi Pasir Putih, Pantai Batu hiu dan Citumang.

Selain bermain di pantai, banyak hal lain yang dapat dilakukan di Pantai Pangandaran.
seperti naik kuda, ATV, bersepeda gandeng, naik becak, dan yang terbaru adalah Mobil Gowes.  Kreatifitas yang satu ini sedang happening di Pangandaran. Kendaraan yang dimodifikasi dari sepeda dengan roda 4, dan diberi kemudi mobil ini berkapasitas hingga 6 orang.  Dengan beraneka rupa hiasan dengan lampu-lampu yang berwarna-warni, menambah semarak mobil gowes tersebut.
Bagi yang ingin berwisata air, terdapat beberapa permainan di kawasan Pantai Timur, seperti banana boat, UFO, butterflyhingga jet ski.

Di pinggir jalan, tampak jejeran pedagang yang menawarkan dagangannya mulai dari penjual aneka jajanan, pakaian, pernak-pernik hiasan, ikan yang sudah dikeringkan hingga penjaja jasa tattoo sementara.  Jika suasana ramai, maka para beberapa pedagang inipun ikut buka hingga larut malam.
Salah satu keluarga pedagang disana masih mengenali kami, karena memang ketika tahun lalu kesana kami cukup lama menghabiskan waktu berbincang-bincang. Ajip, anak mereka pun ikut ketika kami berkeliling dengan mobil gowes.
Dan kali ini, kami menambah kenalan keluarga pedagang lainnya di pantai barat, bahkan azzam sempat menghsbiskan waktu bermain-main pasir bersama mereka.

Jika dari Jakarta, Pangandaran dapat ditempuh sekitar 10 jam dengan menggunakan kendaraan umum (bis).  Sedangkan bagi yang ingin mempersingkat perjalanan mungkin dapat menggunakan pesawat terbang. Pantai ini mudah diakses, hanya sekitar 10 menit perjalanan dengan mengunakan becak dari terminal bis.

Jarak dari Jakarta ke Pangandaran yang memakan waktu sekitar 10-jam terkadang membuat beberapa keluarga mengurungkan niatnya berlibur kesana. Paling tidak ini yang saya dengar dari beberapa keluarga. 
Jarak tempuh yang lumayan jauh, membuat mereka berfikir jika mengendarai kendaraan sendiri, terutama apabila yang harus menyetir hanya seorang (tanpa bergantian).  Nah, mungkin dengan menggunakan bis umum tadi, bisa menjadi salah satu cara mensiasatinya.  Dengan begitu, seluruh keluarga dapat beristirahat secara bersama dan menikmati liburan ketika sudah sampai dilokasi tujuan secara bersama-sama pula.  Paling tidak begitulah yang sudah kami rasakan dalam beberapa kali melakukan liburan keluarga (family travelling).


Untuk penginapan sendiri, harga-harga penginapan Pangandaran sangat bervariatif, dari kelas berbintang hingga losmen dengan jarak yang relatif berdekatan.
Tak perlu khawatir soal makanan, puluhan warung makanan bahkan mungkin ratusan berjejer disepanjang pinggir pantai ditambah dengan pedagang yang menawarkan makanna nya secara berkeliling.
Nah tentunya, jangan lewatkan pula menikmati santapan aneka Seafood yang masih segar dengan masakan yang enak di dekat area pasar ikan.

Selama beberapa hari kami berada disana, rasanya tak habis-habis pengunjung yang datang dan pergi silih berganti ke pantai ini.  Mulai dari suasana pagi hari pantai yang ramai, siang hari agak berkurang hingga sore hari pantai kembali dipenuhi para pengunjung. Malam harinya, tampak berseliweran para pengunjung yang berkeliling dengan menggunakan aneka jenis kendaraan sewa disana.

Tak dapat dibantah bermain-main di pantai sangat menyenangkan dan cukup menggoda.  Dari sekedar bermain ombak dipinggir, berenang di tepi hingga bermain body board.
Suasana seperti itulah yang membuat azzam masih bermain di pantai hingga beberapa saat sebelum kami harus meninggalkan Pangandaran.

Ahh…..rasanya tak habis-habis jika menceritakan Pangandaran.  Menurut kami tanpa mencoba membandingkan dengan pantai di daerah lain, Pangandaran dengan segala sesuatunya merupakan salah satu tempat liburan yang layak dan menyenangkan.

Sampai bertemu lagi dilain waktu, Pangandaran! 


Ready to surf
 
Woohoo...

Mom's watching you
 
Bermain bersama anak-anak lokal
 
Shark Boat
 
Pantai Batu Hiu
 
Masih Di P Batu Hiu
 
Pantai Pasir Putih
 
Sunset Di Pantai Barat

The Green Valley, Citumang

$
0
0




Tak henti-hentinya suara petugas pantai yang keluar dari pengeras suara menghimbau para pengunjung yang datang ke Pantai Pangandaran pagi itu untuk tidak bermain apalagi berenang di pantai pagi itu.

Air pasang yang lumayan tinggi pagi itu berulang-ulang menerjang hingga mencapai warung-warung yang berada di sepanjang Pantai Barat Pangandaran.
“Pengunjung akan dibolehkan bermain di pantai, jika air laut sudah kembali normal” begitu suara petugas pantai yang keluar dari pengeras suara menginformasikan dari atas menara.

Kamipun meninggalkan Pantai Pangandaran setelah ada kesepakatan dengan pihak penyewa sepeda motor sekaligus menanyakan arah untuk menuju ke Citumang yang letaknya antara Pangandaran dan Green Canyon (Cukang Taneuh).
Citumang atau biasa disebut juga dengan Green Valley merupakan sungai yang dijadikan tempat wisata untuk body rafting, tentunya selain Grand Canyon yang mungkin lebih dikenal luas.
Sawah hijau membentang luas di kanan dan kiri jalan menemani perjalanan ke Citumang yang dapat dicapai dalam waktu sekitar 30 menit dari Pantai Pangandaran.

Sesampai di Citumang ada pos yang berfungsi sebagai pusat informasi sekaligus menjadi kantor operator lokal dimana jika kita ingin mengarungi aliran sungai Citumang.
Dengan mengenakan life jacket yang disediakan dan didampingi oleh guide, perjalanan berlanjut ke titik dimana pengarungan akan dimulai. 
Ditempat start terlihat ada gua yang didepannya terbentuk seperti kolam renang dan disitulah kami melakukan lompatan dari pinggir tebing dan akar pohon yang menjuntai.

Debit air yang cukup deras otomatis membawa tubuh kita menyusuri sungai yang kedalamannya bervariasi hingga ada yang mencapai sekitar 8-10 meter.  Tak perlu mengayuh atau berenang, tubuh akan mengambang dengan life jacket dan aliran air sungai.
Di beberapa tempat terdapat air tejun yang tidak terlalu tinggi (sekitar 3-4 meter), disanalah kita bisa melakukan lompatan-lompatan.  Sepanjang perjalanan suguhan pemandangan indah tak terelakkan.  Dahan, ranting dan dedaunan yang menjuntai kebawah membuat suasana disana sangat berbeda. 

Ditengah-tengah perjalanan ada tangga yang terbuat dari tali dan kayu yang dirangkai untuk mencapai pohon yan tingginya sekitar 7 meter.  Ini dibuat untuk pengunjung yang ingin merasakan lompat dari pohon  ke dalam sungai yang berwarna hijau toska ini dan di bulan Juni seperti ini merupakan musim yang baik untuk melihat dan merasakan jernihnya air di Citumang.
Beberapa kali, kami keluar dari air dan istirahat sejenak duduk diatas batu sambil menikmati makanan ringan dan minuman yang dibawa sebelumnya.  Momen ini juga kesempatan untuk berfoto-foto sekaligus keluar sejenak dari air yang memang cukup dingin.

Tak terasa perjalanan mengarungi sungai Citumang sudah sekitar 1 jam. Di akhir perjalanan akan sampailah pada pintu bendungan air.  Dari situ kita harus naik keatas lalu kembali turun ke sungai yang sudah dibuat dinding di kiri-kanannya. Sungai yang semacam arit ini lebarnya hanya sekitar 1 meter yang akan membawa hingga ke titik finish.


Pintu Masuk

Menhanyutkan diri

Melompat

Istirahat dulu

Rimbunnya pepohonan diatas Citumang

Warnanya yang Hijau Toska

Seren Taun, Tradisi Luhur di Kasepuhan Ciptagelar

$
0
0


Leuit



Ritual Seren Taun di Kasepuhan Ciptagelar merupakan tradisi penting dan masih dilakukan hingga kini demi meneruskan apa yang telah dilakukan para leluhur. Upacara yang dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur atas keberhasilan panen padi ini hanya dilakukan sekali dalam setahun, yaitu antara bulan Agustus ataupun September. Konon, ritual ini telah digelar sejak tahun 1368.

Bagi masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar padi bukan hanya sekedar komoditas belaka, tetapi merupakan simbol dari kehidupan. Salah satu yang ditunjukkan adalah dengan adanya tradisi yang tidak membolehkan untuk memperjual-belikan padi.
Rata-rata setiap keluarga di Kampung Ciptagelar memiliki lumbung padi yang berjumlah 3 sampai 4. Dikarenakan padi yang tidak diperjual-belikan maka tak heran, “Disini bahkan ada padi yang berumur 100 tahun masih tersimpan di leuit (lumbung)” Ujar Aki Dai, salah seorang tetua disana.

Ayunan alu yang dipukulkan berulang-ulang kedalam lesung oleh beberapa perempuan di alun-alun pagi hari itu, pertanda dimulainya acara prosesi Seren Taun di Kampung Ciptagelar yang ke 645 ini, bertepatan jatuh pada bulan September tahun 2013.
Iring-iringan yang terdiri mulai dari baris kolot, dayang-dayang, rengkong, angklung hingga debus serta rombongan yang membawa padi dan hasil pertanian lainnya mulai memasuki alun-alun. Tampak sang Pemimpin Kasepuhan Abah Ugi dan sang istri duduk di bagian depan teras Imah Gede didampingi oleh beberapa pejabat kampung.
Sementara itu masyarakat setempat telah berbaur semenjak pagi dengan para tamu yang berasal dari luar kampung hingga dari berbagai kota yang ingin turut menyaksikan ritual tersebut.

Setelah beberapa acara pertunjukan untuk menghibur para pengunjung ditampilkan, maka tibalah saatnya memasuki puncak acara. Padi yang dibawa tadi disiapkan untuk prosesi Ngadiukeun Pare di Leuit Si Jimat sebagai puncak dari ritual Seren Taun. Leuit berarti lumbung dalam bahasa Sunda.

Dari Imah Gede dengan di bentengi oleh barisan sepuh, Pemimpin Kasepuhan Ciptagelar yaitu Abah Ugi Sugriana Rakasiwi didampingi istrinya Emak Alit Destri Dwi Delianti menuju Leuit Si Jimat. Setelah do’a-do’a dipanjatkan yang intinya restu dari alam semesta dan dan juga pada leluhur yang telah menjaga Ciptagelar, satu persatu Sang Pemimpin dan Istrinya masuk ke dalam leuit untuk secara simbolis menyimpan padi di Leuit Si Jimat tadi. Suasana pun tampak khidmat selama prosesi berlangsung.
Setelah keluar dari Leuit Si Jimat, Abah Ugi dan istri pun kembali duduk di teras Imah Gede.

Dalam acara Seren Taun, para tamu yang datang di jamu bak tamu istimewa. Tak ada habis-habisnya, berbagai makanan dihidangkan dari yang utama, panganan aneka kue buatan setempat hingga minuman disajikan. Terbayang betapa sibuknya para ibu yang bertugas di belakang dapur sana dan juga petugas yang melayani tamu.
Untuk menghibur masyarakat dan tamu yang hadir sepanjang rangkaian acara Seren Taun, setiap malamnya dihadirkan acara hiburan di beberapa panggung berbeda. Acara hiburan tersebut mencakup pementasan kesenian tradisional seperti golek, angklung, jipeng, topeng, dan juga tari-tarian. 
Turut meramaikan para pedagang yang menjajakan dagangan dari mulai makanan hingga pakaian untuk pengunjung yang datang.

Kampung Ciptagelar yang berada dilembah pegunungan Halimun ini secara administratif termasuk di wilayah Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Sebagai pemimpin adat, Abah Ugi menjadi pimpinan dari sekitar 568 kampung disekitar Pegunungan Halimun yang disebut masyarakat adat Banten Kidul dan secara turun-temurun tergabung dalam kekerabatan kesatuan adat Kasepuhan Ciptagelar.

Satu hal yang tampak jelas bahwa para leluhur Kampung yang berada di ketinggian sekitar 1200 meter diatas permukaan laut ini selain kearifan lokal pun telah meninggalkan ilmu tentang kemandirian ketahanan pangan pada para keturunannya.




Kampung Ciptagelar dari atas

Memukul Lesung
 
Pikulan Yang Berirama
 
Memikul Padi
 
Beberapa hasil pertanian lainnya
 
Do'a-do'a dipanjatkan sebelum memasukkan padi


Memasukkan Padi Ke Dalam Leuit

Leuit Si Jimat

Keluarga Petualang (Liputan di Net5 - Net TV)

$
0
0





Liputan Keluarga kami yang ditayangkan di Net5 (Net TV) pada tgl 28 September 2013. 

Liputan ini diambil pada saat keluarga kami berkunjung ke Kampung Adat Kasepuhan Ciptagelar yang di tahun 2013 ini merayakan acara ritual Seren Taun yang ke - 645.

Semoga menjadi tayangan yang bermanfaat :)


Sumber: Youtube 



Kampung Adat Ciptagelar, Dari Wayang, Tungku Hingga Ikat Kepala

$
0
0



 
“Kapan kita nyampe di Desa nya ?” seakan sudah tak sabar Azzam melontarkan pertanyaan itu untuk kesekian kalinya setelah beberapa saat kami meninggalkan Pelabuhan Ratu.
Memang seperti biasanya, ketika akan mengunjungi suatu tempat, kami selalu memberi tahu Azzam akan kemana, tempat nya seperti apa, akan ada apa saja, dan hal-hal lainnya.  Seperti kali ini kita memberitahunya akan mengunjungi Kampung atau Desa Ciptagelar.

Setelah memakan waktu sekitar 3 jam, akhirnya kami ber-enam sampai juga di Kampung Ciptagelar.  Selain saya, Nouf (istri) dan Azzam ada Frino yang setia menemani saya selama menyetir kemarin malam, Atre sang penulis lepas serta Udin sang kameramenyang sebelum sampai di Kampung Ciptagelar, sempat singgah di salah satu rumah penduduk untuk menyampaikan hasrat sakit perutnya yang tak tertahankan.

Semakin sore beberapa tamu yang dari luar kota tampak mulai berdatangan.  Diantara pengunjung tersebut ternyata ada teman-teman kami yang juga datang dengan tujuan yang sama, yaitu menghadiri upacara ritual Seren Taun yang ke 645 di tahun ini.  Ritual adat ini merupakan ucapan terima kasih atas panen padi yang melimpah.

“Kita nginap 3 hari ya, disini” ujar Azzam setelah beberapa saat disana.  Rupanya dalam waktu singkat dia sudah dapat merasakan senang berada di Kampung ini.  Ini adalah live-in Azzam yang pertama kali, dan dia cukup merasa senang dan nyaman dengan suasananya.
Lalu matanya tertuju pada kumpulan boneka wayang yang ada di area panggung.  Sayapun mencoba menirukan beberapa macam suara, ketika Azzam menanyakan beberapa dari tokoh wayang tersebut.  Itu membuatnya tertawa senang dan tampak rasa kagum di matanya.

Tak lama kemudian, kami menuju rumah Kang Yoyo, tempat semula kami berencana untuk menginap.  Ternyata di rumah Kang Yoyo, sudah banyak tamu dari rombongan lain yang akan menginap, kamipun disarankan menginap di rumah Aki Dai, salah satu warga di Kampung Ciptagelar yang juga kebetulan sebagai pemimpin rombongan pemain angklung. Kang Yoyo sendiri, saat ini bisa disebut sebagai Humas dari Kasepuhan Ciptagelar.

Dengan diantar oleh Kang Yoyo, kamipun berkenalan dengan keluarga Aki Dai sekaligus mengutarakan niat untuk menumpang menginap di rumahnya selama beberapa malam.  Sambutan hangat dan ramah kami dapatkan dari Aki Dai dan keluarga.
Setelah ngobrol beberapa saat, kamipun menuju kediaman Abah Ugi (pempimpin Kasepuhan Ciptagear) untuk memohon ijin datang dan mengikuti acara ritual Seren Taun ini. Ada juga beberapa orang lainnya yang sudah ada disana dengan tujuan yang sama dengan kami.

Dari rumah Abah Ugi, kamipun kembali ke rumah Aki Dai. Obrolan yang terjadi dari mulai yang serius hingga bercanda membuat suasana terasa semakin akrab, tak terasa, waktupun bergulir dengan cepat. Nini (istri dari Aki Dai) mengeluarkan beberapa kasur beserta selimut dan bantal untuk alas kami tidur.  “Wah, maaf nih, Ni sudah merepotkan” ujar Frino.  “Ah, gak apa-apa, kita juga minta maaf cuma adanya begini”, balas Nini.

Sabtu paginya, kami semua kembali ngobrol di dapur rumah Aki Dai, didepan tungku masak sembari menikmati teh, kopi dan panganan kecil khas buatan lokal.
Tak lama kemudian Azzam pergi ke rumah Kang Yoyo.  Sepertinya dia sudah “jatuh cinta” pada tungku masak di rumah Kang Yoyo.  Benda bernama tungku yang pertama dilihatnya memang di rumah Kang Yoyo, ia betah berlama-lama didepan tungku sambil ikut membakar leunca atau ikut menambah kayu bakarnya, sambil sesekali bertanya dan ditanya oleh orang yang ada didekatnya.  Dalam waktu singkat dia pun berteman akrab dengan Benhur, anjing kepunyaan Kang Yoyo.

Selama disana, pun Azzam pun tak lepas dengan ikat kepalanya, yang diketahuinya sebagai salah satu adat kebiasaan yang ada di Kampung itu, setelah ia bertanya.
Kunjungan kali ini, merupakan tambahan pengalaman dan pengetahuan baru bagi Azzam.  Selain belajar budaya yang dilihat dan dipertanyakan olehnya, dia juga belajar bagaimana beradaptasi dengan lingkungan, orang baru sekaligus menginap di rumah orang, kebiasaaan makan yang piring nya harus selalu diletakkan di lantai (tidak diangkat).  Disini dia juga belajar bagaimana mempelajari dan menghargai budaya setempat.

Malam harinya, beberapa pertunjukan yang ditampilkan di panggung yang berbeda. Pertunjukan wayang, pementasan semacam drama dari penduduk dan anak-anak, tarian ditampijlan di panggung yang menghadap Imah Gede.  Sementara dipanggung lainnya ada pertunjukan dog-dog lojor dan jipeng. 

Hingga pada akhirnya tibalah pada acara puncak upacara ritual Seren Taun yang ke 645 yang jatuh bertepatan pada hari Minggu tersebut.  Ribuan pengunjung tumpah riuh di hari itu.
Hari berangsur siang, dan upacara ritual yang dipimpin Abah Ugi pun usai sudah. 

Sekitar pukul 2 siang, diiringi cuaca yang agak mendung kamipun meninggalkan Kampung Ciptagelar untuk kembali ke Jakarta.  Ingin rasanya suatu waktu nanti kembali kesini dengan waktu yang lebih lama.


Memainkan Wayang

 
Mencoba Gendang


Egrang

Bersama Aki Dai

Mendengarkan cerita dari sesepuh (Aki Dai)

Maen Bareng Benhur

Padi untuk acara ritual

Bersama Sang Pemimpin: Abah Ugi

Camping di Sejuknya Udara Ranca Upas

$
0
0


Danau

Hari sudah menjelang sore ketika kami sampai di terminal Leuwi Panjang, Bandung dan untuk mengisi perut yang mulai ‘protes’ karena memang belum makan siang, kami langsung menuju RM Ampera yang berada di seberang terminal.
Tak lama setelah selesai makan, hujan pun turun dengan derasnya.  Setelah agak mereda, barulah kami pergi sebuah toko untuk membeli payung yang memang belum kami bawa dari Jakarta.
Setelah bertanya-tanya ke beberapa orang, dari terminal Leuwi Panjang, ada 2 pilihan angkutan yang menuju Ciwidey, yaitu menggunakan bis ¾ atau kendaraan umum jenis colt. Kami memilih untuk menggunakan bis ¾ dengan pertimbangang akan berangkat duluan (sudah hampir penuh).

Akhirnya bis yang kami tumpangi tiba di perhentian terkahir setelah sekitar 3 jam perjalanan, lalu berlanjut dengan angkot yang mengantarkan ke Kampung Cai Ranca Upas, tujuan akhir kami hari ini.
Hari sudah gelap ketika kami sampai di pintu gerbang Kampung Cai Ranca Upas.  Setelah membayar izin masuk, langkah selanjutnya adalah makan malam di warung-warung yang ada didalam kawasan. Ketika menuju warung kami bertemu dengan salah seorang petugas pengelola dari tempat tersebut, Diki.  Kami mengutarakan niat untuk camping disana, dan terjadilah kesepakatan penyewaan tenda beserta perlengkapannya.

Malam itu tak terlalu banyak orang yang camping disana, yang terlihat hanya ada sekitar 2 atau 3 rombongan saja. Ini juga mungkin terjadi karena kami datang bukan di hari libur atau weekend di minggu kedua bulan oktober ini.
Setelah santap malam, bertiga kami menyalakan api unggun didepan tenda yang cukup lumayan untuk menghangatkan ujung jari.

Pagi harinya sebelum matahari beranjak tinggi, kembali menyalakan sisa kayu bakar semalam hanya untuk sekedar menghangatkan tangan sambil memasak air untuk sarapan.
“Kalau seperti tadi malam, ya sekitar 10 derajat lah”ujar Diki menjawab pertanyaan saya akan suhu udara semalam. Memang, udara yang kami rasakan malam harinya lumayan dingin. Wajar saja, Kampung Cai Ranca Upas yang terletak di Bandung Selatan ini berada diketinggian 1700 mdpl dan masih memiliki ekosistem hutan yang dikelola oleh Perhutani.

Setelah sarapan dan Azzam sempat bersepeda di sekitar kawasan sambil menunggu dibuka nya tempat penangkaran rusa.  Ya,tujuan pertama kami hari itu adalah penangkaran rusa yang merupakan salah satu daya tarik dari kawasan ini.  Begitu menaiki panggung yang disediakan untuk pengunjung, tampak belasan ekor rusa di padang rumput yang hijau. Diatas panggung tersedia wortel yang dijual untuk para pengunjung yang ingin memberi makan rusa.
Azzam dan bundanya tampak sangat menikmati melihat dan memberi makan rusa-rusa tersebut hingga berbungkus-bungkus.  Saat wortel dijulurkan dari atas panggung, maka rusa-rusa tersebut akan segera menghampiri.

Setelah puas memberi makan rusa-rusa, kami beranjak ke kolam renang yang berada tak jauh dari penangkaran rusa.  Sejuknya udara dan semilir angin di Ranca Upas tak menjadi masalah untuk menikmati aktifitas berenang.  Air di dalam kolam merupakan air panas alami yang bersuhu 36 derajat. Suasana yang tadinya cukup sepi, tampal mulai ramai oleh pengunjung yang mulai berdatangan di hari libur nasional ini  (bertepatan dengan Hari Raya Idul Adha).

Selesai berenang, kami lanjut ke tempat fasilitas outbound, namun  karena tinggi badan yang belum cukup (sesuai aturan), Azzam hanya dibolehkan melakukan 1 kegiatan, flying fox.  Tak berhenti, aktifitas pun berlanjut dengan bermain ATV (All Terrain Vehicle) di trek yang sudah disiapkan.

Semakin sore, pengunjung yang tadinya ramai telah meninggalkan Kampung Cai Ranca Upas.  Tampaknya mereka hanya menghabiskan waktu seharian untuk menikmati berbagai fasilitas atau wahana permainan yang ada, tanpa menginap disana. Azzam pun kembali bersepeda dengan riangnya, sebelum kami akhirnya menikmati senja hari itu dengan duduk-duduk di pinggir danau.

Menjelang malam kami pun menuju tenda. Tampak hanya ada 2 tenda yang berdiri, selain tenda kami masih ada 1 tenda lagi yang didirikan disana.  Di malam kedua ini kami memindahkan lokasi tenda kami untuk mendapatkan view berbeda.
Setelah menyantap makan malam, kami melewati malam dengan keheningan di Ranca Upas sambil menyalakan api unggun di depan tenda.  Malam semakin larut dan dingin, tak kuasa menahan kantuk, kamipun lalu masuk ke dalam tenda untuk beristirahat.

Keesokan pagi harinya, Azzam kembali bersepeda sebelum akhirnya kami berkemas untuk meninggalkan Kampung Cai Ranca Upas dan bersiap ke Bandung Utara.


Rusa di Penangkaran

Ngasih makan rusa

Selamat pagi !

Bersepeda
 
Rumah Pohon

Menyiapkan sarapan ;)

Bersiap-siap meninggalkan Ranca Upas

Selamat tinggal Ranca Upas :)

Dari Cikole Turun Ke Pasar Apung, Lembang

$
0
0


Diantara Hutan Pinus



Dari Bandung Selatan ke Bandung Utara.
Setibanya di Terminal Leuwi Panjang dari Ranca Upas, perjalanan berlanjut ke Cikole, Lembang.  Dengan menumpang angkutan umum tujuan Subang, kami berhenti tepat di Grafika Cikole.

Berbeda dengan di Kampung Cai Ranca Upas yang tidak menyediakan penginapan permanen (hanya tenda), di Grafika Cikole pengunjung yang berniat menginap dapat memilih beberapa jenis penginapan. Selain hotel, di area outdoor mereka juga menawarkan pondokan, rumah panggung dan tentunya tenda untuk camping.
Berbagai kegiatan dapat dilakukan selama berada di Grafika Cikole, dari mulai memetik strawberry (tentunya ada musimnya), fasilitas outbound, juga ada penangkaran Rusa Timor/Rusa Jawa. 

Setelah berkeliling melihat-lihat kawasan sekitar Grafika Cikole yang merupakan hutan pinus, kami menuju ke tempat pengangkaran rusa.  Ditempat ini rusa nya hanya berjumlah 5 ekor, tidak sebanyak seperti di Kampung Cai Ranca Upas yang jumlahnya belasan.
Menurut sang petugas, induk rusa yang ada disana hanya 1 kali melahirkan anak dan setelah itu belum pernah lagi.  Sore itu kami pun ikut memberi makan rusa-rusa tersebut dengan izin dari petugas.
Hari menjelang malam dan udara pun semakin dingin.  Kami kembali ke hotel dan bersiap-siap untuk makan malam.

Keesokan harinya, rencana untuk mengunjungi Gunung Tangkuban Perahu terpaksa kami urungkan, dikarenakan status nya dalam keadaan siaga yang berarti tidak memperbolehkan orang mendekat dalam radius tertentu.  Jarak dari tempat ini sendiri ke pintu masuk Gunung Tangkuban Perahu adalah sekitar 1,5 kilometer.


Angkutan yang mengantarkan dari Ciwidey ke Bandung

Ngasih Makan Rusa Timor

Rumah Panggung, Pondokan dan Tenda

Hutan Pinus


Dikarenakan kondisi tersebut, maka kami putuskan untuk mendatangi Lembang Floating Market yang letaknya tak jauh dari Pasar Lembang.  Dari Grafika ke tempat ini berjarak sekitar 20 menit berkendaraan. 

Lembang Floating Market

Di depan gerbang, dengan membayar Rp 10.000 per orang sebagai tiket masuk, sudah termasuk kupon yang dapat ditukarkan dengan minuman seharga Rp 10.000.
Begitu melewati pintu masuk, terpampang danau dan taman yang tertata rapi dengan latar belakang pegunungan.

Tempat ini memang belum pernah kami kunjungi sebelumnya, hanya pernah mendengar namanya saja.  Pertama-tama dari namanya, yang terbayang adalah pasar terapung seperti yang ada di Banjarmasin.  Namun yang ada disini sedikit berbeda konsepnya,  di taman rekreasi ini beberapa jajanan mulai dari yang tradisional hingga modern dijajakan diatas perahu yang mengapung, namun pembelinya tetap berada di pinggir danau.
Setelah memilih dan membeli jajanan, pengunjung dapat menikmatinya sambil bersantai di kursi & meja yang disediakan di sepanjang pinggir danau.

Selain pasar mengapung tadi, terdapat berbagai wahana permainan, beberapa toko souvenir dan juga restoran untuk pengunjung yang datang.
Semua transaksi pembelian, menggunakan koin khusus yang sebelumnya kita tukarkan dengan uang terlebih dahulu.  Koin yang tersisa tak dapat ditukarkan uang kembali, namun tak perlu khawatir, koin tersebut bisa dipakai kembali kapan saja (tidak ada masa berlakunya).

Di Taman rekreasi ini jalur dari wahana ke wahan, toko dan yang lainnya di tata secara teratur.  Sehingga, pengunjung yang datang akan melewati semuanya hingga tiba di pintu keluar (sama dengan pintu awal masuk).


Maen ATV
  
Pasar Mengapung 





Jajanan Khas Lembang
 
Menikmati Jajanan








Saat Imlek di Gn. Papandayan , ada Hujan, Ultah dan Kecombrang

$
0
0


 
Hutan Mati

“Ngapain sih musim hujan naek gunung?, emang gak ribet apa?”begitulah pertanyaan yang muncul dari beberapa teman ketika tahu bahwa kami berencana untuk hiking ke Gn. Papandayan.
Sebenarnya pertanyaan ini sama saja jika ditanyakan kepada para penggiat hobi apapun yang lain, tentunya dan sudah semestinya mempersiapkan segala sesuatunya sebagai langkah antisipasi. Seperti rombongan touringsepeda motor dari kota lain yang kebetulan berpapasan dengan kami diperjalanan. Bagi orang lain, mungkin akan timbul pertanyaan: “ngapain sih jauh-jauh naik motor, hujan-hujan lagi”.

Yang terpenting adalah, setiap yang melakukan perjalanan sudah memikirkan  segala sesuatunya.  Gak ada juga orang yang niatnya menikmati perjalanan, nyari-nyari susahnya kan? Hehehe.

Rencana kami hiking ke Gn. Papandayan kali ini memang bertepatan dengan Imlek yang jatuh pada tanggal 31 Januari tahun 2014 ini.  Imlek sendiri merupakan Tahun Baru bagi orang Tionghoa dan seperti yang sudah-sudah, biasanya beberapa hari sebelum dan juga pada saat Imlek hujan akan turun. Konon, masyarakat Tionghoa percaya bahwa hujan pada saat Imlek akan membawa berkah.

Hari Jum’at sekitar jam 6 pagi, kami ber 6 (2 keluarga) meninggalkan Jakarta, sedangkan Budi bersama rombongan keluarganya sudah lebih dulu berangkat kemarin malam menuju Garut.
Sesampainya di Cisurupan, saya dan John langsung mengambil barisan di dalam mesjid untuk menunaikan Sholat Jum’at. Sementara para istri dan anak-anak menunggu di parkiran mobil.

Selesai sholat jum’at, Mang Cecep yang memang sudah saya hubungi sebelumnya menemui kami di mesjid dan kamipun bergegas menuju rumahnya.  Setelah santap siang dan membereskan beberapa bawaan, perjalanan  berlanjut ke parkiran bawah pintu masuk Gn. Papandayan dengan menggunakan mobil pick-up (bak terbuka).  Di rumah Mang Cecep lah mobil kami titipkan.  Jalanan menuju parkiran pintu masuk Gn. Papandayan yang lumayan rusak, memang membuat kami berfikir untuk tidak membawa mobil sampai kesana.

Sampai di parkiran dengan ditemani hujan rintik-rintik, pendakian pun dimulai.  Mang Cecep sekalian mejadi porter bagi keluarga John, sedangkan keluarga saya memutuskan kali ini tidak menggunakan bantuan porter.
Sekitar satu jam perjalanan hujan turun semakin deras.  Namun dengan jas hujan yang sudah disiapkan Azzam dan Hanif tampak  tetap ceria dan menikmati sambil sesekali bermain air yang menggenang di tanah.
Ini merupakan hiking yang pertama bagi Hanif.  Sedangkan Azzam ini kali kedua dia ke Gn. Papandayan setelah pendakian pertamanya pada  bulan Maret tahun lalu.

Selain Hanif, sebenarnya masih ada satu anak lagi yang juga merupakan pendakian pertamanya, Amel. Namun Amel sudah lebih dulu berangkat dengan rombonga Budi (bapaknya) dan keluarga yang lain.

Sekitar 2 jam perjalanan, sampailah kami di Pondok Saladah dimana kami akan mendirikan tenda. Rombongan Budi dan keluarga yang sudah sampai disana lebih dulu menyambut kedatangan kami. Setelah mendirikan tenda dan memberesan barang bawaan, kamipun mengganti semua pakaian yang basah dengan yang kering.

Malam harinya saat menyiapkan makan malam seperti janji saya pada istri, saya meramu sayur-sayuran untuk membuat pecel.  Yang spesial pada pecel ini adalah selain  terdiri dari beberapa jenis sayuran, pecel ditambah dengan honje atau kecombrang yang disukai oleh Nouf.  Masakan spesial untuknya karena dalam hitungan beberapa jam lagi, adalah hari ulang tahun nya. Selamat ulang tahun, Nouf.

Keesokan paginya, setelah sarapan roti bakar, seluruh rombongan trekking ke Tegal Alun.  Tegal Alun merupakan padang terbuka yang ditumbuhi oleh Edelweiss.
Beberapa saat disana, kamipun kembali turun menuju Pondok Saladah yang sejak kemarin dipenuhi oleh puluhan tenda .  Sesampai di perkemahan setelah mengisi perut lagi dengan makanan kecil, kamipun membereskan tenda dan barang-barang untuk turun dan kembali ke Jakarta.
Alhamdulillah, tidak seperti kemarin hujan tak turun selama perjalanan kami dari Pondok Saladah ke parkiran bawah.

"Children are great imitators. So give them something great to imitate" -Anonymous
So we bring them to the mountain ! 


Ceria dan semangat!
  
Menuju Tegal Alun

Di Tegal Alun

Ini dia pecel spesial nya :)


3 Keluarga

Seluruh Rombongan





Camping di Mandalawangi, Cibodas

$
0
0

Danau Mandalawangi

Begitu sampai di area Terminal Baranangsiang, Bogor kami melihat dan mencari kemungkinan transportasi lanjutan untuk mengantar kami ke Cibodas.
Satu-satunya ada angkutan L300 yang ngetem di dekat pintu tol yang hanya berisi satu penumpang saja.  “wah, kalo kita naik yang itu bakal lama lagi nih”, ujar saya dan diiyakan oleh sang istri.
Setelah bertanya ke orang dissekitar, akhirnya kita menyetop angkot jurusan Ciawi.  Dari informasi yang kami dapat sebelumnya, akan lebih mudah mendapatkan angkutan ke Cibodas apabila naik dari Ciawi.

“Kita sampai disini aja ya? Saya mau mutar balik, tinggal jalan kaki sedikit sampai di lampu merah”, ujar pak supir kepada penumpang.  Rupanya pak supir menyerah juga setelah beberapa lama berada dalam antrian kemacetan hari itu.
Tanpa bisa mengeluh, semua penumpang pun harus turun dan melanjutkan dengan berjalan kaki sekitar 500 meter.
Sebelum menaiki angkutan Elf yang akan membawa kami ke kawasan Puncak, bubur ayam Cianjur jadi pilihan untuk mengisi perut kami pagi itu.

Waktu menunjukkan jam setengah satu, akhirnya kami sampai juga di parkiran Cibodas.  Lain dari biasanya, parkiran dipenuhi mobil-mobil dan motor.  Bisa dibilang ini weekend yang lumayan luar biasa melihat ratusan motor yang terparkir disana.
“iya, ini juga rame banget karena ada libur 1 Muharam ”, ujar kang Asep, petugas pintu masuk kawasan camping mandalawangi saat kami mengurus perizinan camping sekaligus penyewaan tenda dan matras di camping ground mandalawangi.
Memang kami berencana untuk menginap di Cibodas setelah hiking ke Air Terjun Cibereum.  Ini merupakan camping pertama kami di camping ground mandalawangi, padahal kami cukup sering trekking ke air terjun atau mendaki gunung lewat Cibodas.

Agar tidak membuang wakt karena jam sudah menunjukkan pukul setengah dua, makan siang kami skip.  Untuk hiking, selain beberapa jenis snack (makanan ringan) yang memang sudah kami beli sebelumnya, pisang dan gorengan menjadi menu tambahan untuk menemani hiking hari ini.

Memang masih ada beberapa orang yang juga baru naik seperti kami, namun pastinya jauh lebih banyak orang-orang yang turun dari air terjun yang kami temui dijalan.
Setelah trekking sekitar 1 jam setengah diselingi dengan istirahat sambil mengisi perut dan foto-foto pastinya, akhirnya kami sampai di Air Terjun yang sudah dipenuhi oleh ratusan orang.  Banyak yang berkumpul sambil befoto atau berbasah-basah disekitar air terjun yang paling besar. 
Kami pun mengambil tempat untuk menyantap makanan dan minum sambil menikmati udara segar sore itu

Setelah beberapa lama disana, kami meninggalkan air terjun Cibereum dan langsung menuju camping ground.
Hari sudah menjelang senja ketika kami memilih untuk menyeruput teh manis dan mie instant di sebuah warung yang tak begitu jauh letaknya dari tenda kami.

Saat kembali ke tenda sebelum makan malam, Azzam berujar “Aku senang deh disini”.  Dia jumpalitan kesana kemari di dalam tenda, kegirangan tak karuan.
Sehabis makan malam di warung dekat parkiran, kami kembali ke tenda dan tidur-tiduran di depan tenda sambil menikmati sejuknya udara malam itu dan gemericik air sungai yang berada di depan kami.  Disekitar, tampak beberapa tenda yang orang-orangnya sedang melakukan aktifitas, seperti memasak, membakar api unggun dan ada juga yang bernyanyi.
Hari semakin malam, kamipun masuk kedalam tenda untuk beristirahat.

Pagi hari sekitar pukul 7, kami langsung menuju Danau Mandalawangi.  Setelah sarapan, kami lanjutkan dengan bermain perahu di danau.  Azzam yang ingin fying fox pun menjajalnya kemudian.
Sebelum kami meninggalkan perkemahan Mandalawangi, Azzam pun sempat bermain-main di sungai di area perkemahan.

Pukul 10 kurang 15 menit, kami meninggalkan Cibodas untuk kembali ke rumah.  Sama seperti kemarin, jalanan raya puncak dipenuhi oleh kendaraaan yang berlibur hari itu.  Angkutan yang akan membawa kami ke Bogor pun terparkir dijalanan demi menunggu giliran untuk dibukakan jalur satu arah.
Sekitar pukul setengah lima sore dengan disambut hujan, kami sampai di Bogor.  Sebelum akhirnya naik angkutan untuk menuju rumah, tak lupa menu Simpang Raya memenuhi perut kami yang lumayan sudah minta diisi.



Di dalam angkutan umum (Elf)

Pose di jembatan kayu

Istirahat dulu ah...

Pagi, di depan tenda

Main perahu di danau Mandalawangi


Viewing all 46 articles
Browse latest View live